Saturday, July 25, 2009

Faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA

Di antara enam agama besar di dunia, Islam tergolong agama dakwah. Agama dakwah yang dimaksud adalah agama yang di dalamnya usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang- orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah yang tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu terwujud dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Semangat memperjuangkan kebenaran inilah yang mendorong umat Islam untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk di tiap negeri yang mereka datangi, dan ini merupakan kewajiban agama bagi mereka yang disebut da’i atau muballigh.

Dengan semangat dakwah seperti itulah, pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042 berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai dan pada tahun 1025 berdiri Kerajaan Islam Aceh. Al-Malikus Shaleh merupakan kerajaan yang menganut faham Aswaja dan menganut madzhab Syafi’i. Bahkan menurut catatan sejarah, pada tahun 840 telah berdiri
kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Kerajaan Perlak. Dapat dipastikan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena ketika kerajaan itu berdiri sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Sementara Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak. Berkat dakwah yang dilakukan Walisongo, Islam berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Menyusul kemudian berdiri beberapa kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Perkembangan Islam yang berhaluan Aswaja bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo dan Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara Iebih terarah. Dari pesantren inilah lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama yang relatif utuh dan lurus.

Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negaranegara Arab. Tidak saja melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia di negara-negara Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam makin pesat.Seiring dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak langsung tersebut, telah masuk faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan faham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.

Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut dan untuk membentengi mayoritas umat Islam Indonesia, para ulama Aswaja wajib bangkit secara proaktif mendirikan jam’iyyah (organisasi) yang di kemudian hari dikenal dengan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Nama yang dipilih adalah kebangkitan, bukan sekadar perkumpulan atau perhimpunan. Yang bangkit adalah para ulama yang menjadi panutan umat. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1334 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.

Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah diniyyah Islamiyyah berdasarkan faham Aswaja dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nahdlatul Ulama bertujuan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Islam Aswaja dan menganut salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara Indonesia yang menganut faham ini hendaknya memahami dan mendalami faham ini. Untuk itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyusun buku yang terdiri dari muqaddimah, empat bab isi, dan khatimah.

Bab I berisi pengertian dan sejarah lahir Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat memahami definisi atau apa yang dimaksud dengan Aswaja, baik yang bersifat ishtilahi maupun yang bersifat substantif. Juga memahami dalil-dalil yang dipergunakan Aswaja sebagai faham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui ruang Iingkup Aswaja yang secara garis besar meliputi aspek akidah, fiqih dan akhlak. Selain itu juga latar belakang lahirnya Aswaja yang secara terminologis lahir seiring dengan munculnya madzhab kalam Al-Asy’ari dan Al- Maturidi, yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dan periode Ali ibn Abi Thalib. Akhirnya melalui bab ini pembaca dapat memahami pola (manhaj) berpikir Aswaja.

Bab II mengenal faham Aswaja yang meliputi akidah, syari’ah, tashawuf dan akhlak. Melalui bab ini pembaca dapat memahami faham Aswaja mencakup pengertian iman, rukun iman, ciri khas akidah Aswaja dan khalifah sesudah Rasulullah SAW menurut Aswaja. Demikian pula pembaca dapat mengetahui sumber-sumber hukum Islam menurut Aswaja, disertai alasan-alasan dan dalil-dalilnya. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui faham Aswaja tentang sumber-sumber keteladanan bagi umat Islam dalam melaksanakan berbagi kehidupan, termasuk tashawuf dan akhlak.

Bab III mengenal NU dan Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat mengetahui penyebaran Islam di Indonesia, yang diperkirakan pada abad ke-7 dan diikuti berdirinya pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk kerajaan Islam di berbagai wilayah Indonesia, sehingga agama Islam dianut mayoritas penduduk Indonesia. Umat Islam di Indonesia pada umumnya menganut madzhab Aswaja. Akhirnya para ulama bangkit mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk membentengi warga Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari arus faham lain yang bententangan dengan Aswaja. Kemudian pembaca juga dapat memahami Aswaja yang dianut oleh jam’iyyah NU.

Bab IV mengenal aktualisasi Aswaja yang meliputi aktualisasi wawasan Aswaja, aktualisasi materi Aswaja, perspektif sosial politik, perspektif hak asasi manusia, perspektif ekonomi, perspektif budaya, perspektif pertahanan dan keamanan, perspektif pendidikan, perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, perspektif sumber daya manusia, dan perspektif lingkungan hidup.

Melalui bab ini pembaca dapat mengkaji bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan Aswaja. Tentu saja tipologi masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin merupakan acuan utama dalam bentuk politik dan bernegara. Yang direalisasikan dalam suatu negara adalah prinsip-prinsip al-‘adalah (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), al-musawah (persamaan), dan asy-syura (musyawarah). Mengenai hak asasi manusia, pembaca bisa mengkaji ushulul khamsah (lima prinsip pokok) tentang jaminan agama, jiwa, akal, harta, kehormatan dan keturunan. Di samping itu, pembaca dapat mengkaji prinsip perekonomian Aswaja, religiusitas seni budaya, seni sebagai sarana pendidikan dan dakwah, pandangan ulama terhadap seni budaya dan seni sebagai sarana perjuangan.

Sumber : http://www.lakpesdam.or.id

Read More »

Jawaban Praktis Amaliah Warga NU


Jawaban Praktis Amaliah Warga NU

Judul Buku: Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi
Penulis: KH Muhyidin Abdusshomad
Editor: Muhammad Faishol, MAg
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Juni 2008
Tebal: xii+ 121 halaman

KH Muhyidin Abdusshomad adalah sosok kiai, yang dikatatan paling produktif, khususnya di kalangan warga NU. Saat ini ada beberapa karyanya yang sudah banyak beredar di seluruh pelosok Tanah Air. Di antaranya, Fiqh Tradisionalis, Tahlil Dalam Persfektif Al-Quran dan As-Sunnah, Penuntun Qolbu: Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual, Etika Bergaul di Tengah Perubahan (Kajian Kitab Kuning), dan Hujjah NU Akidah Amaliah Tradisi.

Buku yang disebut terakhir ditulisnya sebagai sebuah tinjauan ulang dan jawaban praktis terhadap apa yang terkandung dalam prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) secara baik dan sempurna. Karena saat ini, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja kadang kala disalahtafsirkan. Belum lagi banyaknya organisasi kemasyarakatan Islam yang semua mengaku berhaluan Aswaja. Padahal, gagasan dan pandangan mereka seringkali menyimpang dari nilai-nilai dan konsep Aswaja sendiri.

Dalam catatan sejarahnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas yang bertujuan melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja. Arti Aswaja, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, Aswaja adalah orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada Al-Quran, Al-Hadits, Al-Ijma' dan Al-Qiyas. Latar belakang tersebut, paham Aswaja tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Hadits sebagai dasar dari setiap diskursus keagamaan yang dilakukannya.

Tetapi, menurut pandangan NU, bukan berarti Aswaja dan "ber-mazhab", kita diharuskan langsung untuk memahami dan menerapkan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits, tanpa mempertimbangkan bagaimana zaman yang selalu berubah. Bagaimana cara menghukumi sesuatu yang tidak ada dalilnya yang sharih (jelas) di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Dan, masalah-masalah sosial lainnya, yang juga tidak pernah ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Tradisi dan Budaya
Adapun salah satu ciri paling mendasar dari konsep Aswaja adalah, moderat (tawasuth). Konsep ini tidak hanya mampu menjaga para pengikut Aswaja tidak terjerumus pada perilaku keagaamaan yang ekstrim, berdakwah secara destruktif (merusak), melainkan mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan masyarakat secara proporsional.

Dalam kehidupan, tidak bisa dipisahkan dari yang namanya budaya. Karena budaya adalah, kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Menghadapi budaya atau tradisi, yang terkandung dalam ajaran Aswaja telah disebutkan dalam sebuah kaidah "al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadidil al-ashlah", yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa lalu, mengambil hal yang baru yang lebih baik.

Dalam buku ini, KH Muhyidin Abdusshomad juga menjelaskan seputar persoalan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah). Karena saat ini, banyak ormas Islam yang mengaku pengikut Aswaja tidak paham mana yang dikatakan bid'ah atau sebaliknya. Contoh, terbitnya buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali", karya Ustad Mahrus Ali yang mengaku mantan kiai NU. Padahal, dia tidak pernah tercatat bahkan menjadi anggota NU.

Dengan demikian, ajaran dan nilai-nilai tradisi dalam Aswaja ternyata tidak ada yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam. Meskipun juga, terkadang kelompok lain memandang bahwa selametan atau tingkepan yang kata orang Madura "peret kandung" (seorang wanita tengah mengandung 7 bulan sebagai bid'ah). Nah, tradisi ini, harus disikapi secara proporsional, arif, dan bijaksana, khususnya bagi para pengikut Aswaja. Karena, dalam selametan dan tradisi-tardisi lainnya yang dianggap bid'ah masih ada nilai-nilai baiknya dan mengandung filosofis yang tinggi. Tradisi tersebut tidak harus dihilangkan dan dilarang.

Semoga gagasan dan pandangan KH Muhyidin Abdusshomad dalam buku ini mampu menghadirkan Islam yang toleran, damai, dan menghormati setiap hak manusia. Bukan Islam yang berperilaku seperti "preman berjubah" yang berteriak-teriak "Allahu Akbar" sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang yang tujuannya menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat.

Praktis, buku ini penting untuk dibaca dan dimiliki umat Islam, khususnya warga NU. Karena buku ini menjadi bahan pegangan untuk memantapkan bagaimana warga NU mampu melestarikan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Aswaja dengan baik dan sempurna.

Sumber : http://samudera-buku.blogspot.com

Read More »

Pelecehan terhadap Amaliah Warga NU


Pelecehan terhadap Amaliah Warga NU

Judul Buku: Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik (H. Mahrus Ali)
Penulis: Tim Bahtsul Masail PCNU Jember
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xi+ 254 halaman

Buku yang berjudul "Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir" ini, merupakan jawaban dari buku yang ditulis H Mahrus Ali yang berjudul, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik". Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan buku tersebut.

Dalam bukunya, Mahrus mengatakan bahwa tawassul dan istighosah termasuk perbuatan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah), syirik (menyekutukan Tuhan). Bahkan, ia mengkafirkan. Dan, ibadah-ibadah lainnya, seperti, membaca sholawat pada Nabi dan membaca zikir setelah salat lima waktu termasuk perbuatan bid'ah. Padahal, bacaan-bacaan itu telah menjadi tradisi khususnya di kalangan Nahdliyyin. Pertanyaannya, apakah Mahrus sudah menemukan dalil yang kuat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, bahwa ber-tawassul, istighosah, membaca sholawat pada Nabi, dan membaca zikir termasuk perbuatan bid'ah, kufur, syirik, dan menyesatkan?

Karena itu, dalam buku ini, dijelaskan, ber-tawassul dan ber-istighosah, hukumnya adalah boleh, baik ketika seorang nabi atau wali itu masih hidup atau sudah meninggal. Namun, hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat secara hakiki, kecuali Allah. Sedangkan, para nabi dan wali hanyalah sebagai sebab atas dikabulkannya doa dan permohonan seseorang.

Adapun kebolehan ber-tawassul dan ber-istighosah kepada para nabi dan para wali, baik ketika mereka masih hidup maupun yang telah meninggal, hukumnya sudah disepakati seluruh ulama salaf yang saleh sejak generasi Sahabat sampai generasi para ulama terkemuka pada abad pertengahan. Ada 12 ulama besar terkemuka, yang semuanya sepakat membolehkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Di antaranya, Al- Imam Sufyan bin Uyainah (Guru Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal), Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Ali al-Khallal, Al-Hafizh Ibn Khuzaimah, tiga hafizh (al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri'), Ibrahim al-Harbi, Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Abu al-Khair al-Aqqtha'.

Tidak hanya ulama di atas yang membolehkannya. Al-Quran yang merupakan sumber primer pengambilan hukum Islam justru menganjurkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 35, yang artinya, "Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya". (QS. Al-Maidah:35). Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighosah dengan para Nabi dan para wali yang sudah meninggal tidak bertentangan dengan ajaran yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Adapun penolakan Mahrus, dalam bukunya, terhadap doa-doa, tawassul dan istighosah, dengan dipertentangkan dengan ayat-ayat Al-Quran, adalah berakar pada dua hal. Pertama, Mahrus tidak merujuk pada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar (dapat dipertanggungjawabkan) yang ditulis para huffazh, seperti, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qurthubi, dan lain-lain. Kedua, Mahrus tidak memahami maksud ayat-ayat Al-Quran yang diajukan untuk menentang doa-doa tawassul dan istighosah. Ia tidak dapat meletakkan ayat-ayat Al-Quran pada tempat yang sebenarnya (hal. 59-60).

Selain itu, Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal dia tidak pernah tercatat sebagai anggota dan aktivis NU, apalagi tokoh atau kiai NU, sebagaimana keterangan dari Pengurus Ranting NU Sidomukti, Kebomas, Gresik—tempat kelahirannya. Juga, keterangan dari pengurus Majelis Wakil Cabang NU Waru, Sidoarjo—tempat Mahrus saat ini tinggal.

Dalam bukunya, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir", Mahrus telah menyinggung dan melakukan pelecehan terhadap kaum muslimin, khususnya warga NU. Karena ia mau merubah, bahkan melarang amaliah yang sudah menjadi tradisi kalangan pesantren dan warga NU.

Buku ini sangat penting untuk dimiliki dan dibaca kaum muslimin, warga NU pada umumnya. Agar umat Islam, warga NU, hati-hati dan tidak gampang terpengaruh tulisan-tulisan yang saat ini sering menyudutkan terhadap amaliah yang sudah menjadi kebijakan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam, khususnya bagi warga NU.

Sumber : http://samudera-buku.blogspot.com

Read More »

Memahami Aswaja ala NU


Memahami Aswaja ala NU

Judul: Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Penulis: Masyhudi Muchtar
Pengantar: Dr KH Ali Maschan Moesa, M.Si
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Maret 2007
Tebal: vii+56 hal

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai jam'iyah diniyah al-ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan). Jamiyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya, yang di dalamnya memiliki konsep dan ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Seperti telah kita ketahui dan ditelusuri secara historis, Aswaja versi NU, pertama kali didirikan oleh kelompok “Taswirul al-Afkar" (potret pemikiran) yang salah satu tokohnya KH Wahab Hasbullah. Dalam "Qonun Asasi" NU telah dijelaskan bahwa, KH Hasyim Asy'ari tidak menjelaskan secara eksplisit definisi Aswaja sebagaimana yang dipahami oleh nahdliyin (sebutan untuk warga NU) saat ini.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Selain itu, Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Al-Asy'ari dan Al-Maturidi dalam bidang akidah. Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Sementara, menurut KH Dawam Anwar, memahami Aswaja sebagai Islam itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti sama dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan zaman).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Aswaja dicoba diteliti dan ditinjau ulang oleh beberapa ulama seperti KH Said Aqil Siradj yang menginginkan definisi Aswaja sedikit didekontruksi pada aspek-aspek tertentu. Dengan tujuan agar Aswaja yang eksklusif dapat menjadi inklusif.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah warga nahdliyin mampu memahami secara mendalam apa itu Aswaja? Dan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam tataran akademis-keilmuan? Dan apakah mempunyai implikasi yang cukup signifikan pada cara berpikir ulama dan intelektual warga NU?
Dalam buku kecil, praktis, dan sederhana ini, pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab. Mulai dari masalah-masalah bagaimana warga NU dalam melakukan amal ibadah ubudiyah (secara vertikal kepada Allah) dan ibadah muamalah (secara horisontal dalam hubungannya antarsesama warga nahdliyin). Semuanya disajikan dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dipahami khususnya masyarakat awam.
Buku "Aswaja An-Nahdliyah" ini, sengaja dijelaskan dalam bab-perbab. Bab pertama Mukaddimah. Bab kedua, mengulas sumber ajaran An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi madzhab qauli, madzhab manhaji, dan pengembangan asas ijtihad madzhabi. Bab ketiga, menerangkan akidah Aswaja An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi konsep Akidah Asy'ariyah, konsep Akidah Maturidiyah. Bab keempat, mengulas Syariat Aswaja An-Nahdliyah yang meliputi, kenapa harus Empat Mazdhab. Bab kelima, mengulas masalah Tasawuf Aswaja An-Nadliyah. Bab keenam, menerangkan tradisi dan budaya yang di dalamnya meliputi landasan dasar tradisi, dan sikap terhadap tradisi.
Sedangkan bab ketujuh, kemasyarakatan yang di dalamnya meliputi Mabadi' Khaira Ummah dan Maslahatul Ummah. Mabadi' Khairah Ummah ini, juga meliputi Al-Shidqu, Al-Amanah wa al-Wafa bi al-Ahdi, Al-Adalah, Al-Ta'awun dan Al-Istiqamah. Maslahatul Ummah, meliputi penguatan ekonomi, pendidikan dan pelayanan sosial. Bab kedelapan, menerangkan kebangsaan dan bab terakhir penutup (khatimah).
Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (hal. 51-52).
Dari empat konsep Aswaja di atas, ada pokok yang paling ditekankan bagaimana konsep Aswaja bisa diaplikasikan dengan baik oleh warga NU. Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut), setidaknya harus memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al-adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Buku ini penting dan menarik untuk dimiliki, dibaca, oleh warga NU supaya paham dan mengerti secara mendalam apa itu Aswaja. Aswaja tidak hanya dipahami sekilas saja, tapi bagaimana warga nahdliyin mampu mengaplikasinnya dengan baik dan sempurna.

Sumber : http://samudera-buku.blogspot.com

Read More »

Sunday, July 12, 2009

Doktrin Aswaja

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik
15/06/2009

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.



KH Said Aqil Siradj
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja
30/03/2009

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah

a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.


KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Read More »

Tuesday, July 7, 2009

Aswaja Ala NU

ASWAJA ala Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari merupakan simbol ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama diantaranya adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah yang menganut madzhab empat, yakni : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Disamping itu juga bagaimana bisa menyatukan antara ulama dan [para pengikutnya-pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahan masyaraka, kemajuan bangsa dan ketingian harkat dan martabat manusia.

Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah adalah ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliau amalkan serta diamalkan para sahabat, paham Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah dan akhlak. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, dalam bidang fiqih menganut empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, serta imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam.

Ciri utama aswaja NU adalah sikap tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal zhanniyyat.

Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik, dengan sikap ini aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima salah satu dari keduanya.

Sumber Ajaran aswaja NU

Pola perumusan hukum dan ajaran Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah Nahdlatul Ulama sangat tergantung pada pola pemecahan masalahnya, antara: pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan (qonuniyah) dan waqi’yah (kasuistik). Pola maudhu’iyah merupakan pendiskripsian masalah berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran islam dengan kepentingan terapan hukum positif, maka pendekatan masalahnya berintikan ”tathbiq al-syari’

Ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual yang bersifat kedaerahan atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode eklektif (takhayyur) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).

Metode pengalian atau pengambilan sumber (referensi) dan langkah-langkanya baik deduktif maupun induktif dalam tradisi keagaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah.

* Madzhab Qauli, pandangan keagamaan ulama yang terindentifikasi sebagai ”ulama sunni” dikutip utuh qaulnya dari kitab mu’tabar (qaulnya Imam Syafi’i) dalam madzhab, untuk memperjelas dan memperluas doktrin yang akan diambil bisa mengunakan kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab yang sama (Imam al Nawawi)
* Madzhab Manhaji, madzhab ini lebih mengarah pada masalah yang bersifat kasuistik yang diperlukan penyertaan dalil nash syar’i berupa kutipan al-Quran, nuqilan matan sunnah atau hadist, serta ijmak

* Madzhab Ijtihad, metode akan ditemui pada permasalahan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah, dengan pola ijtihad dengan memgang asas-asa idtihad dan didukung kearifan lokal serta dialakukan secara kolektif.

Aqidah aswaja

Ketika Rasullah Muhammad SAW masih hidup, setiap persoalan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin langsung dapat diselesaikan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammmad, tetapi setelah beliau wafat, penyelesaian tersebut tidak ditemukan sehingga sering terjadi perbedaan lalu mengedap dan terjadi permusuhan di antara mereka, awal-awal perbedaan muncul persoalan imamah lalu merembet pada persoalan aqidah, terutama mengenai hukum orang muslim yang berbuat dosa besar apakah dia dihukumi kafir atau mukmin ketika dia mati.

Perdebatan ini akhirnya merembet pada persoalan Tuhan dan Manusia, terutama pada terkait dengan perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan (sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke hudutsan dan ke-qadim-an Tuhan dan kemakhukan Quran), pertetangan tersebut makin meruncing dan kian saling menghujat.

Ditengah-tengah arus kuat perbedaan pendapat munculah pendapat moderat yang mencoba berusaha mengkompromikan kedua pendapat tersebut, kelompok moderat terbut adalah Asy’ariyah dan Maturudiyah yang keduanya kemudian dinamakan kelompok Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja).

Konsep Aqidah Asy’ariyah

Konsep ini dimunculkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan wafat di Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan dari kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.pertentangan kelompok tersebut terlihat dari pendapat mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah, bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat kekuasaan Allah itu mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan Allah terbatas.

Asy’ariyah besikap mengambil jalan tengah (tawasuth) dengan konsep upasya (al-kasb), menurut Asyari perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbutaannya, artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan dan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Dengan demikian manusia selalu keratif dan berusaha dalam menjalankan kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan Tuhan. Konsep Asy’ariyah mengenai toleransi (tasammuh), mengenai konsep kekuasan Tuhan yang mutlak, bagi Mu’taziah Tuhan WAJIB bersikap adil dalam memperlakukan mahluk-Nya, Tuhan wajib memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka, berbeda dengan Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal, Mu’tazilah memposisikan akal diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah akal dibawal wahyu, namun akal diperlukan dalam memahami wahyu, artinya dalam Asyariyah akal tidak ditolak, dan kerja-kerja rasionalitas dihormati dalam kerangka pemahaman dan penafsiran wahyu berserta langka-langkahnya.

Konsep Aqidah Maturidiyah

Konsep Aqidah Maturudiyah didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi, beliau lahir di Maturid di Samarkand, wafatnya sekitar tahun 333H, konsep Maturiyah tidak jauh berbeda dengan konsep Asy’ariyah, namun pada sandaran madzhabnya saja, kalau Asy’ariyah bermadzhab pada Imam Syafi’i dam Imam Maliki sedangkan Maturidiyah pada Imam Hanafi.

Konsep jalan tengah (tawasuth) yang ditawarkan Maturidiya adalah jalan damai anatar nash dan akal, artinya pendapat Maturidiyah melihat bahwa suatu kesalahan apabilah kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (teks), begitu juga sebaliknya salah jika kita larut dan tidak terkendali dalam mengunakan akal. Artinya sama pentingnya mengunakan nash dan akaldalam memahami kekuasaan (ayat-ayat) Tuhan.

Dengan munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan perdamaian antara kelompok Jabariyah yang Fatalistik dan Qodariyah yang mengagung-agungkan akal, sikap keduanya merupakan sikap Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam beraqidah, sikap tawasuth diperlukan untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak, prinsipnya bagaimana nilai-nilai Islam dijadikan landasan dan pijakan bermasyarakat serta dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Syariah aswaja an Nahdliyah

Ketika Rasullulaah SWA masih hidup, umat manusia menerima ajarn langsung daribeliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan, setelah rasullulah wafat para sahabat menyebarkan ajaran pada generasi selanjutnya. Dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang kian dinamis banyak persoalan baru yang dihadapi umat, seringkali hal yang muncul tidak tredapat jawabat secara tegas dalam al-Quran dam al-Hadis, maka untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad.

Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Isalam yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan diopertahankan.

Kenapa harus empat mazhab

Di antara mazhab bidang fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat (Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi), alasan memilih keempat Imam tersebut;

* Secara kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah mashur, artinya jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan maroritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak diperlukan penjelasan detail.
* Keempat Imam tersebut adalah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan
* Para Imam Mazhab memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh kitab induk yang masih terjamin keasliannya hingga sekarang
* Keempat Imam tersebut memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.

Tasawuf aswaja ala NU

Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki prinsip, bahwa hakiki tujuan hidup adalah tercapaianya keseimbangan kepentingan dunia dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan spiritual, yang bertujuan memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup, namun hakikat tidak boleh dicapai dengan meninggalkan rambu-ra,bu syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW, ini merupakan prinsip dari tasawuf aswaja.

Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah, tidak semua thariqah memiliki sanad kepada Nabi Muhammmad, dan yang tidak memiliki sanad pada Nabi Muhammmad tidak diterima sebagai thariqah mu’tabarah oleh Nahdliyin.

Jalan sufi yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dan pewarisnya,adalah jalan yang tetap memegang teguh pada perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuh yang terdapat dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat mensandingkan antara kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, seperti yang ditunjukan oleh wali songo yang menyerkan islam di Indonesia. Dengan model tasawuf yang moderat memungkinkan umat islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjamaah dapat melakukn gerakan kebaikan umat, sehingga menjadikan umat memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial.

http://www.nu-jatim.org/index.php?option=com_content&view=article&id=47&Itemid=56
Read More »

Kembali ke Aswaja

KH. Hasyim Muzadi: Kita Kembali ke Ahlussunah Wal Jama'ah ala Shofaih

Kemunduran diantara kita sekarang adalah keikhlasan. Karena keikhlasan itulah ruh kita bersambung, seperti sabda Nabi Muhammad saw. : “al-arwah junudun mujannadah, faman ta’arafa minha I’talafa, wama tanakara minha ikhtalafa” H.R. Sayyidah ‘Aisyah. Artinya ruh kita satu sama lain itu berdekatan menjadi satu mata rantai. Jika kita berkumpul dengan orang yang ikhlas seorang yang sholeh dan ikhlas maka kita akan mendapat keberkahan

. Keikhlasan tidak perlu ditampakan, karena semakin ditampakkan semakin berkurang kualitasnya. yang nampak kemudian adalah hasilnya. Allah memberi ma’unah yang belipat kepada seorang yang ikhlas, sehingga pekejaan yang ditekuninya itu bisa selesai dan berkah. Perlu kita murnikan kembali keikhlasan kita.

Setelah itu kita dituntut kembali membangun kembali jati diri kita, mungkin kita terlahir sebagai orang Islam, karena orang tua kita Islam. Kita harus sadar betul, bahwa serangan barat kepada Islam sangat luar biasa. Jika tidak kita bangun kembali faham ahlussunnah wal jamaah, dari akidah, kemudian syariah, akhlak, manhaj dan jihad kita.

Dalam Ahlussunah wal Jama’ah sudah jelas, ketika kita menata keyakian kita kepada Allah itu menganut siapa? Kita mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Yang selanjutnya syariah kita itu ikut siapa ? mulai dari sholat, puasa, zakat , haji itu mengikuti salah satu dari Imam Madzhab Empat (Imam Hanafi,Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ibn Hambal). Lalu ketika kita memasuki dunia tarekat dan tasawuf kita mengikuti imam Junaid al Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.

Kenapa hal ini harus dipertegas lagi, karena sekarang pengaruh kanan-kiri itu luar biasa. Hadratussyekh Hasyim Asy’ari mengatakan : “didalam kamu beragama Islam hendaknya harus jelas dari siapa kamu mendapatkan agamamu?, apakah dari ustadz, apakah dari pesantren. Begitu pula jika kita belajar dari Imam Syafi’I akan mendapatkan hasil yang beda dengan belajar dari Imam Samudra. Padahal ayat dan haditsnya sama, akan tetapi natijah (hasilnya) sangat bertolak belakang pada konsep jihadnya.”

Untuk memahami al-Quran dan hadits itu memerlukan sebuah manhaj yang tersendiri, ada patokan tersendiri, standar tersendiri dalam memahami hal itu. Pemahaman ulama terhadap al-Quran dan hadits itu berbeda-beda, Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah punya kriteria tersendiri, tidak sembarang ulama yang kita pakai sebagai hujjah kita. Selain dari criteria tersebut maka dianggap sesat.

Contoh saja, Indonesia kedatangan Syiah yang menonjolkan Imam Ali Karromah Wajhah akan tetapi mencela dan meninggalkan sahabat selain beliau. Sholatnya beda, adzanya beda, padahal al-Quran dan Haditsnya sama, bahkan mereka punya ayat-ayat tersendiri tentang konsep Imam mereka. Selain itu muncul Wahabiyah, Ahmadiyah yang memang sesat ajarannya dan lain-lain.

Selain itu ada gerakan politik dalam sebuah aliran. Karena cara pandang mereka berbeda maka akan menghasilkan pemahaman ayat dan hadits yang tidak sama pula. Akan tetapi jika gerakan itu gerakan politik Islam, maka ujung-ujungnya adalah kekuasaan dalam sebuah Negara. Walaupun kita sama-sama mengaji tafsir Jalalain, karena kecampuran politik maka akan timbul tafsir Jalan lain yang menyesatkan.

Setelah genderang reformasi terbuka, semua gerakan masuk ke Indonesia, termasuk didalamnya gerakan politik nasional. Salah satunya Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, ada Ikhwanul Muslimin, ada Jaulah. Ini datangnya dari Timur Tengah, sedangkan ada aliran dari barat yang disebut dengan gerakan liberal (yuhakkmuna bi uqulihim- mengartikan dengan otak mereka). Dengan manhaj liberal, mereka mulai mengkritik Nabi Besar Muhammad saw. , ada yang mengkritik hadits sekaligus al-Quran dengan beberapa ayat-ayat yang kata mereka kadaluarsa.

Imam Sholat perempuan, yang boleh menurut mereka dengan alasan gender, telah menggeser ajaran Islam dengan manhaj berfikir mereka. Disisi lain mengubah ajaran dengan isu-isu HAM, sehingga oleh orang Indonesia itu HAM dianggap sebagai kitab suci, padahal di Amerika HAM hanyalah platform untuk menghancurkan Negara dunia ke tiga, seperti Irak, Palestina, Afghanistan, dan Indonesia dengan memasukan manhaj liberal mereka.

Akhirnya kalau kita petakan, dari sisi kanan ada gerakan liberal, dari sisi kiri ada gerakan radikal yang ekstrim. Dari sisi tengah ada musyrik, zindiq, khurafat, dan bid’ah Dholalah. Ada Nabi palsu di Bogor, ada orang mengaku malaikat di Probolinggo, dan lain-lain. Semakin hari semakin banyak aliran sesat, maka kita harus menjaga ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah ‘ala shofaih (dengan kemurniannya).

Lebih parah lagi adalah ancaman regenerasi umat. Ulama-ulama kita sudah pada sepuh (lanjut usia), yang menjadi ancaman adalah anak cucu kita. Ketika generasi kita mengalami kekosongan akidah, maka akan sangat mudah dimasuki oleh tiga arus aliran sesat. Siapa diantara mereka yang lebih dahulu memasuki generasi muda, merekalah yang mengarahkan ke arah mana aqidah, syariah, manhaj , akhlak dan jihad mereka.

Ditengah serangan yang dahsyat ini, umat muslim harus menjaga ukhuwah akan tetapi jangan melunturkan akidah ahlussunnah wal jama’ah. Ukhuwah (persaudaraan) itu bukan wihdah (kesatuan). Masing-masing punya eksistensi sendiri tapi punya toleransi tertentu. Eksistensi yang dimaksud keajekan kita pada aqidah ahlussunah wal jama’ah.

Ancaman dari luar negeri, masing-masing negara arab dipersenjatai untuk membunuh umat Islam sendiri.

Jika saja kita menilai dengan seksama perjuangan wali songo dalam nasyrul Islam bukan dengan jalan kekerasan. Akhirnya warga Hindu berbondong-bondong masuk Islam, karena akidah mereka sudah selamat, maka tidak perlu merusak tatanan Candi-candi yang ada. Akidah selamat itu yang utama dan menjaga perasaan umat Hindu lebih utama. Hikmah lebih yang dapat kita peroleh, umat Hindu masuk Islam tanpa perang. Dan kita lihat berapa banyak bom meledak disana sini, namun tidak satupun orang masuk islam karena simpatik dengan bom.

Maka paradigma tawasuth (garis tengah antara liberal dan radikal) wal I’tidal (lurus dengan manhaj Rasulilah dan golongan yang diridloi yaitu ahlussunnah wal jama’ah) benar-benar harus di pegang, untuk memperjuangkan akidah kita.

Read More »