Saturday, October 30, 2010

Al Marja'a Al Akbar Lengkap dan Bisa Dipertanggungjawabkan Naskahnya

Bagi para pecinta ilmu-ilmu keislaman, barangkali tidak asing dengan software Maktabah Syamilah versi 3.2 yang memuat 10.000 kitab lebih. Namun demikian, sering muncul kecurigaan di kalangan para santri atau mahasiswa tentang konten kitab, adakalanya halamannya kurang, kalimatnya salah atau berubah.

Hal ini sebenarnya bisa dipahami, karena Maktabah Syamilah berbasis open source, yakni siapapun yang akan menambah atau mengurangi kitab atau kalimatnya, sangat mudah dilakukan, baik untuk tujuan melengkapi referensi atau untuk mengaburkan isi.


Bagi kita yang kebetulan curiga, ada baiknya mencoba software lain yang sama dahsyatnya, bahkan 10 X lebih cepat dibanding Maktabah Syamilah dan terjamin keasliannya, sebab tidak bisa dirubah atau terprotek secara bagus dan mayoritas kitab berharakat.

Lebih hebat lagi software ini, tidak terlalu pro wahabi sehingga lebih selektif memilih kitab. Justru kamus al-Munjid ditemukan di sini. Software ini tidak dibagikan gratis, melainkan dijual sekitar 200 dollar melalui penerbit al-Arees. Meski demikian, bisa dikopi melalui DVD dengan format image dan dioperasikan dengan software Magic ISO virtual.


Al-Maktabah Al-Marji’ Al-Akbar lit turats al-Islamy 2.0 adalah software kompilasi kitab-kitab digital, yang jumlah database kitabnya terdiri 1200-an judul kitab, yang terangkum dalam beberapa bidang ilmu, diantaranya:

1. Menghubungkan teks kitab fiqih dengan syarahnya masing-masing
2. Bantuan untuk syarah hadis
3. mampu mengontrol dan menentukan sendiri model pencarian dan hasil pencarian yang diinginkan

4. mampu mengopi tabel-tabel hasil pencarian atau teksnya ke dalam aplikasi microsoft word

5. terdap indeks ayat-ayat Al-Quran, teks hadis, fiqh, dan rijal
6. mampu menambahkan catatan tertulis dan suara ke link yang ada
7. bisa langsung menggunakan kamus yang ada untuk mencari kata yang asing
8. mendukung beberapa bahasa interface, arabic, english dan france
9. Fitur-fitur yang ada bisa dipelajari secara cepat lewat tutorial video
10. Mendukung polonian search (atau, dan, tanpa)

Tampilan menu bar pada baris pertama di MA yang terdiri dari lima menu utama :
(1) ملف(file),
(2) تحرير (edit),
(3) عرض (view),
(4) مؤشرات (bookmark),
(5) أدوات (tool),
(6) مساعدة (help).

Pada baris kedua terdapat menu بحث (search) beserta alat geser ke depan dan ke belakang.

Pada menu ملف(file), terdapat empat pilihan submenu;

(1) طباعة صفحة …. (mencetak halaman tertentu),
(2) طباعة كل الصفحات (mencetak keseluruhan halaman),
(3) إعداد الطابعة (mengatur cetakan),
(4) خيارات (pilihan).

Pada menu مؤشرات (bookmark) terdapat dua submenu;

(1) إضافة مؤشر (menambahkan bookmark),
(2) ترتيب المؤشرات (mengurutkan bookmark).

Pada menu عرض (view), terdapat lima submenu;

(1) لائحة المحتويات (daftar isi),
(2) نتيجة البحث (hasil pencarian),
(3) شاشة عرض جديد (layar tampilan baru),
(4) الذهاب إلى (menuju ke halaman tertentu),
(5) حجم النص (ukuran teks).

Pada menu تحرير (edit), terdapat sepuluh submenu;

(1) نسخ (mengkopi dokumen),
(2) نسخ إلى وورد (mengkopi ke file word),
(3) بحث متقدم (pencarian canggih),
(4) بحث عن الكلمة المختارة في المعاجم (mencari kata pilihan dalam beberapa kamus), (5) بحث داخل النص (mencari kata dalam teks),
(6) بحث عن كتاب (mencari kata dalam kitab),
(7) إضافة ملاجظات (memberikan tambahan catatan),
(8)صوتية ملاجظات إضافة (memberikan tambahan suara),
(9) لائحة الملاحظات (daftar catatan) dan
(10) ربط مع وورد (menghubungkan dengan program word).

Kelebihan Al-Marji’ al-Akbar

1. kecermatan pencarian menjadi prioritas

a. menampilkan jumlah glabal hasil pencarian secara cepat

b. mengurutkan hasil pencarian berdasarkan :

(1) urutan kitab

(2) urutan tema yang terkait kata kunci yang dimasukkan

c. menampilan semua hasil pencarian satu tema dalam satu layar

2. Pencarian dengan kata: dan, atau, dengan tanpa, akar kata, bisa dicari dalam waktu bersamaan

3. Ditambahkan link pencarian: mirip dan tidak dengan

4. Ayat Al-Quran ditampilkan dengan rasm utsmani dan dengan bullet khusus mushaf

5. Mengkaitkan satu kamus dengan kamus yang lain

6. Dapat menggunakan nomor juz dan halaman untuk membuka teks

7. pencarian bebas menjadi pencarian yang komprehensif dalam seluruh isi teks

8. Jumlah indeks yang tak terbatas, memungkinkan pengguna menambahkan indeks disamping pengetahuan yang sudah ada untuk diakses kemudian

9. Perpindahan antar buku, memungkinkan pengguna untuk mengakses secara mudah buku yang diinginkan

10. Search engine sangat canggih, memungkin pengguna menentukan area pencarian dengan menseleksi semua kitab “marji’ akbar” atau kitab tertentu, juga dapat menentukan tema pencarian. Setelah menentukan pilihan, pengguna dapat memasukkan kata yang dicari sehingga secara otomatis terjadi updating tampilan yang diurutkan secara alpabet yang diawali dari kata yang dicari.

PERHATIAN !!!

ADMIN BLOG TIDAK MENJAMIN KESESUAIN KITAB YANG DI DOWNLOAD DENGAN TEKS ASLINYA, KALAU ANDA MENDOWNLOAD/MENGGUNAKANNYA, MAKA ITU HANYA SEBAGAI PERBANDINGAN, BUKAN SEBAGAI BAHAN RUJUKAN/REFERENSI


Read More »

Saturday, October 16, 2010

Kelemahan Albani Dalam Menilai Hadis

Albani mendloifkan sejumlah hadits Imam Bukhori dan Muslim

Oleh : Syeikh Muhammad Ibn Ali Hasan As-Saqqof

Dalam kitab “Sharh al-Aqeedah at-Tahaweeah, hal. 27-28″ (edisi kedelapan, Maktab al-Islami) oleh Syeikh Ibn Abi Al-Izz al-Hanafi (Rahimahullah), Albani berkata bahwa hadis apapun yang datang dari koleksi Imam Bukhori dan Imam Muslim adalah Shohih, bukan karena ia diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, tetapi karena pada faktanya hadis-hadis ini memang shohih. Akan tetapi kemudian ia melakukan sesuatu yang bertentangan apa yang ia katakan sebelumnya, setelah ia mendhoifkan sejumlah besar hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan imam Muslim !? Baik, marilah sekarang kita melihat bukti-buktinya : SELEKSI TERJEMAHAN DARI JILID II

No. 1 : (Hal. 10 no. 1)
Hadis : Nabi SAW bersabda : ”Allah SWT berfirman bahwa ‘Aku akan menjadi musuh dari tiga kelompok orang : 1). Orang yang bersumpah dengan nama Allah namun ia merusaknya, 2). orang yang menjual seseorang sebagai budak dan memakan harganya, 3). Dan orang yang mempekerjakan seorang pekerja dan mendapat secara penuh kerja darinya (sang pekerja -pent) tetapi ia tidak membayar gajinya (HR. Bukhori no. 2114 -versi bahasa arab, atau lihat juga versi bahasa inggris 3430 hal. 236). Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini dhoif dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu’, 4111 no. 4054′. Sedikitnya apakah ia tidak mengetahui bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhori dari Abu Hurairah ra. !!!

No. 2 : (Hal. 10 no. 2)
Hadis : ‘Berkurban itu hanya untuk sapi yang dewasa, jika ini menyulitkanmu maka dalam hal ini kurbankanlah domba jantan !! (HR. Muslim no. 1963 - versi bahasa arab, atau lihat versi bahasa inggris 34836 hal. 1086). Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu’, 664 no. 6222′. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibn Majah dari Jabir ra. !!!

No. 3 : (Hal. 10 no. 3)
Hadis : Diantara manusia yang terjelek dalam pandangan Allah pada hari
kiamat, adalah seorang lelaki yang mencintai istrinya dan istrinya
mencintainya juga, kemudian ia mengumumkan rahasia istrinya (HR. Muslim No. 1437 - versi bahasa arab). Al-Albani mengklaim bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu, 2197 no. 2005′. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sayid ra. !!!

No. 4 (Hal. 10, no. 4)
Hadis : “Jika seseorang bangun pada malam hari (untuk sholat malam -pent), hendaknya ia mengawali sholatnya dengan 2 raka’at yang ringan (HR. Muslim No. 768). Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu I213 no. 718′. Walaupun hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra. !!

No. 5 : (Hal. 11 no. 5)
Hadis : ‘Engkau akan dibangkitkan dengan kening ,tangan, dan kaki yang
bercahaya pada hari kiamat, dengan menyempurnakan wudhu ..’ (HR. Muslim No. 246). Al-Albani mengklaim bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu’ 2/14 no. 1425′. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra. !!

No. 6 : (Hal. 11 no. 6)
Hadis : ‘Kepercayaan paling besar dalam pandangan Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang tidak mengumumkan rahasia antara dirinya danistrinya’ (HR. Muslim no. 124 dan 1437). Al-Albani menyatakan bahwa hadisini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu, 2192 no. 1986′. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari Abi Sayidra. !!!

No. 7 : (Hal. 11 no. 7)
Hadis : ‘Jika seseorang membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al-Kahfi,ia akan terlindungi dari fitnah Dajal’ (HR. Muslim no. 809). Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu, 5233 no. 5772′. Kalimat yang digunakan oleh Imam Muslim adalah ‘menghafal’ dan bukan ‘membaca’ sebagaimana klaim Al-Albani ! Sungguh sebuah kesalahan yang sangat fatal ! Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, dan Nasa’i dari Abu Darda ra. (Juga dinukil oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin 21021 - versi bahasa inggris) !!!

No. 8 : (Hal. 11 no. Cool
Hadis : ‘Nabi SAW mempunyai seekor kuda yang dipanggil dengan ‘Al-Lahif”(HR. Bukhori, lihat Fath Al-Bari li Al-Hafidz Ibn Hajar 658 no. 2855.Tetapi Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu, 4208 no. 4489′. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Sahl Ibn Sa’ad ra. !!!

Syeikh Al-Saqof berkata : ‘Ini merupakan kemarahan dari orang yang sakit, sedikit dari (penyimpangan -pent) yang banyak dan jika bukan karena takut akan terlalu panjang dan membosankan pembaca, saya akan menyebutkan lebih banyak contoh dari Kitab-kitabnya Al-Albani ketika membacanya. Saya mencoba membayangkan apa yang akan saya temukan jika mengkaji ulang semua yang ia
tulis ?’.

KELEMAHAN AL-ALBANI DALAM MENELITI HADIS (jilid 1 hal. 20)

Syeikh Saqof berkata : ‘Hal yang aneh dan mencengangkan adalah bahwa Syeikh
Al-Albani banyak menyalahpahami sejumlah besar hadis para Ulama dan tidak
mengindahkan mereka, diakibatkan pengetahuannya yang terbatas, baik secara
langsung atau tidak langsung. Ia memuji dirinya sendiri sebagai sumber yang
‘tidak terbantahkan’ dan seringkali mencoba meniru para Ulama Besar dengan
menggunakan sejumlah istilah seperti ‘Lam aqif ala sanadih’, yang artinya
‘Saya tidak dapat menemukan sanadnya’, atau menggunakan istilah yang serupa
! Ia juga menuduh sejumlah penghafal hadis terbaik dengan tuduhan ‘kurang
teliti’, meskipun ia sendiri (yaitu Al-Albani -pent) adalah contoh terbaik
untuk menggambarkannya (yaitu seorang yang bermasalah tentang
ketelitiannya -pent). Sekarang akan kami sebutkan beberapa contoh untuk membuktikan penjelasan kami :

No. 9 : (Hal. 20 no. 1)
Al-Albani menyatakan dalam ‘Irwa Al-Gholil 6251 no. 1847′ (dalam kaitannya dengan sebuah riwayat dari Ali ra.) : ‘Saya tidak dapat menemukan sanadnya’.

Syeikh Saqof berkata : ‘Sangat menggelikan ! Jika Al-Albani memang benar adalah salah satu dari Ulama dalam Islam, maka ia akan mengetahui bahwa hadis ini dapat ditemukan dalam kitab ‘Sunan Baihaqi’ 7121 : yang diriwayatkan oleh Abu Sayid Ibn Abi Amarah, yang berkata bahwa Abu al-Abbas Muhammad Ibn Yaqub, yang berkata kepada kami bahwa Ahmad Ibn Abdal Hamid berkata bahwa Abu Usama dari Sufyan dari Salma Ibn Kahil dari Muawiya Ibn Sua’id, ‘Saya menemukan (hadis -pent) ini dalam kitab Ayahku dari Ali ra.’!!

No. 10 : (Hal. 21 no. 2)
Al-Albani menyatakan dalam ‘Irwa Al-Gholil 3283 : hadis dari Ibn Umar ra. :’Ciuman adalah riba (’Kisses are Usury’ - versi bahasa inggris). : ‘Saya tidak dapat menemukan sanadnya’.

Syeikh Saqof berkata : ‘Hal ini adalah kesalahan yang fatal, karena secara pasti hadis ini dinukil dalam ‘Fatawa Al-Shaykh Ibn Taymiyya Al-Misriyah (3/295)’ : ‘Harb berkata Ubaidillah Ibn Muadz berkata kepada kami, Ayahku berkata kepadaku bahwa Sua’id dari Jiballa mendengar dari Ibn Umar ra. Berkata :’Ciuman adalah riba’. Dan seluruh perawi hadis ini adalah terpercaya menurut Ibn Taimiyah !!!

Hadis dari Ibn Mas’ud ra. : ‘Al-Qur’an diturunkan dengan 7 dialek. Semua
yang ada dalam versi ini mempunyai makna eksplisit dan implisit dan semua larangan sudah pula dijelaskan’. Al-Albani menyatakan dalam penelitiannya atas kitab ‘Mishkat Masabih 180 no. 238, bahwa penulis dari ‘Mishkat’ mengomentari sejumlah hadis dengan kalimat ‘Diriwayatkan dalam Sharhus Sunnah’, tetapi ketika ia meneliti ‘Bab Ilm wa Fadhoil Al-Qur’an’ ia tidak dapat menemukannya !

Syeikh Saqof berkata : Para Ulama Besar telah berbicara ! SALAH, sebagaimana biasanya. Saya berharap untuk meluruskan ‘penyimpangan’ ini, hanya jika ia (yaitu Al-Albani -pent) memang serius serta tertarik untuk mencari hadis ini, maka kami persilahkan ia untuk melihat Bab yang berjudul ‘Al-Khusama fi al-Qur’an’ dari Sharh-us-Sunnah’ (1/262), dan diriwayatkan juga oleh Ibn Hibban dalam Shahih-nya (no. 74), Abu Ya’ala dalam Musnad-nya (no.5403), At-Tahawi dalam Sharh al-Mushkil al-Athar (4/172), Bazzar (3/90 Kashf al-Asrar) dan Haitami telah menyebutkannya dalam Majmu’ al-Zawaid (7/152) dan ia menisbatkannya kepada Al-Bazzar, Abu Ya’la dan Tabarani dalam Al-Autsat, yang menyatakan bahwa para perawinya adalah terpercaya’ !!!.

No. 12 : (Hal. 22 no. 4)
Al-Albani menyatakan dalam ‘kitab Shohih-nya’ ketika mengomentari Hadis no. 149 : ‘Orang beriman adalah orang yang tidak memenuhi perutnya . . Hadis ini berasal dari Aisyah ra. sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mundhiri (3/237) dan Al-Hakim dari Ibn Abas ra.. . Saya (Albani) tidak menemukannya dalam Mustadrak al-Hakim setelah mencarinya dalam ‘bagian pemikiran’ (’Thoughts’ section - versi bahasa inggris).

Syeikh Saqof berkata : ‘Tolong jangan mendorong masyarakat untuk jatuh dalam kebodohan dengan kekacauan yang engkau lakukan !! Jika engkau meneliti Kitab Mustadrak Al-Hakim (2/12), engkau akan menemukan hadis ini ! Hal ini membuktikan bahwa engkau tidak mampu untuk menggunakan indeks buku dan hafalan hadis !!!?.

No. 13 : (Hal. 23)
Penilaian yang lain yang juga menggelikan apa yang dilakukan oleh Albani dalam Kitab ‘Shohih-nya 2/476′, ketika mengklaim bahwa hadis : ‘Abu bakar adalah bagian dariku, sambil memegang posisi dari telingaku’, tidak ada dalam kitab ‘Hilya’.

Syeikh Saqof berkata : Kami menyarankan engkau untuk kembali melihat kitab “Hilya , 4/73 !”

No. 14 : (Hal. 23 no. 5)
Al-Albani berkata dalam kitab “Shahihah, 1/638 no. 365, edisi keempat :
‘Yahya ibn Malik telah diabaikan oleh enam Ulama Hadis yang Utama, karena ia tidak disebutkan dalam kitab Tahdzib, Taqrib atau Tadzhib’.

Syeikh Saqof berkata: ‘Ini adalah menurut persangkaanmu ! Kenyataannya sebenarnya tidak seperti itu, karena secara pasti Ia (yaitu Al-hafidz Ibn Hajar -pent) telah menyebutkannya (yaitu Yahya ibn Malik -pent) dalam Tahdhib Al-Tahdhib li Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalani (12/19 - Edisi Dar El-Fikr) dengan nama kuniyah Abu Ayub Al-Maraghi’ !!!. Maka berhati-hatilah!!!

No. 15 : (Hal. 7)
Al-Albani mengkritik Imam Al-Muhadis Abu’l Fadl Abdullah Ibn Al-Siddiq
Al-Ghimari (Rahimahullah) ketika menyebutkan dalam kitabnya “Al-Kanz
Al-Thamin” sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. yang berkaitan dengan perawi Abu Maimunah : ‘Sebarkan salam, berilah makan faqir-miskin …’.

Al-Albani menyatakan dalam ‘Silsilah Al-Dhoifah, 3/492′, setelah menisbatkan hadis kepada Imam Ahmad (2/295) dan lainnya, : ‘Saya katakan bahwa sanad hadis ini ‘Dhoif’ (lemah), Daraqutni telah berkata bahwa ‘Qatada dari Abu Maimuna dari Abu Hurairah : Tidak dikenal (Majhul), dan hadisnya ditinggalkan’. Al-Albani kemudian berkata pada paragraf yang sama : ‘Sebagai catatan, sesuatu yang aneh terjadi diantara Imam Suyuti dan Al-Munawi ketika mereka meneliti hadis ini, dan saya juga telah menunjukkannya pada hadis no. 571, bahwa Al-Ghimari juga salah ketika menyebutkan hadis ini dalam ‘Al-Kanz ‘.

Akan tetapi realitanya menunjukkan bahwa Al-Albani-lah yang sebenarnya paling sering melakukan kesalahan, ketika ia membuat kontradiksi yang besar dengan menggunakan sanad yang sama dalam “Irwa al-Ghalil, 3/238″, tatkala ia berkata : ‘Dinukil oleh Imam Ahmad (2/295), Al-Hakim . . . dari Qatada dari Abu Maimuna dan ia adalah perawi yang terpercaya dalam kitab ‘Al-Taqrib’, dan Hakim berkata : ‘A Sahih Sanad’, dan Al-Dhahabi setuju dengan penilaian Imam Hakim ! Semoga Allah SWT meluruskan kesalahan ini ! Lalu siapakan menurut pendapat anda yang melakukan kesalahan dan penyimpangan, apakah
Al-Muhaddis Al-Ghumari (termasuk Imam Suyuti and Munawi) ataukah Al-Albani ?

No. 16 : (Hal. 27 no. 3)
Al-Albani hendak melemahkan hadis yang membolehkan para wanita memakai perhiasan emas, dimana pada sanad hadis itu terdapat seorang perawi bernama Muhammad ibn Imara. Al-Albani mengklaim bahwa Abu Hatim berkata bahwa perawi ini adalah ‘tidak begitu kuat (Laisa bi Al-Qowi)’, lihat kitab “Hayat al-Albani wa-Atharu. . . jilid 1, hal. 207.”

Yang sebenarnya bahwa Imam Abu Hatim Al-Razi menyatakan dalam Kitabnya ‘Al-Jarh wa At-Ta’dil, 8/45′: ‘Perawi yang baik akan tetapi tidak begitu kuat (Laisa bi Al-Qowi)’. Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa Al-Albani menghilangkan kalimat ‘Perawi yang baik’ ! .

NB - Al-Albani telah membuat sejumlah hadis yang melarang emas untuk para wanita menjadi hadis yang shohih, walaupun sebelumnya sejumlah Ulama telah menyatakan bahwa hadis-hadis ini adalah ‘Dhoif’ dan dihapus dengan hadis lain yang membolehkan emas bagi wanita. DR. Yusuf al-Qardawi berkata dalam bukunya : ‘Islamic Awakening between Rejection and Extremism’ (judul dalam versi bahasa Inggris -pent) hal. 85: ‘Pada masa kami muncullah Syeikh Nasirudin Al-Albani dengan pendapat-pendapatnya, yang ternyata banyak bertentangan dengan kesepakatan (Ijma’) yang membolehkan para wanita untuk menghiasi dirinya dengan emas, dimana pendapat ini telah diterima oleh seluruh Madzhab selama 14 abad lamanya. Ia (yaitu Al-Albani -pent) tidak hanya menyakini bahwa hadis-hadis ini adalah shohih, akan tetapi hadis ini
juga tidak dihapus (dinasakh ketentuan hukumnya -pent). Sehingga, ia
menyakini bahwa hadis-hadis itu melarang cincin dan anting emas bagi wanita. Sehingga kalau demikian faktanya, maka siapakah yang menetang Ijma’ Umat dengan pendapat-pendapatnya yang ekstrim ?!? .

No. 17 : (Hal. 37 no. 1)
Hadis : Mahmud ibn Lubaid ra. berkata : ‘Rasul SAW telah mendapat informasi tentang seorang lelaki yang telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (dalam satu duduk), kemudian beliau menjadi marah dan berkata: ”Apakah ia hendak mempermainkan Kitab Allah , tatkala aku masih ada diantara kalian ? kemudian seorang lelaki berdiri dan berkata : ‘Wahai Nabi Allah, apakah saya boleh membunuhnya ?” (HR. An-Nasa’I).

Al-Albani menyatakan bahwa Hadith ini adalah ‘Dhoif’ dalam penelitiannya
pada “Mishkat al-Masabih, 2/981 (edisi ketiga, Beirut 1405 H; Maktab
Al-Islami)”, ketika dia berkata : ‘Orang ini adalah terpercaya, tetapi
sanadnya terputus karena ia tidak mendengar hadis ini dari ayahnya’.

Al-Albani kemudian melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia lakukan sebelumnya dalam Kitab-nya yang berjudul “Ghayatul Maram Takhrij Ahadith al-Halal wal Haram, no. 261, hal. 164, edisi ketiga, Maktab al-Islami, 1405 H”; dengan mengatakan bahwa hadis yang sama adalah hadis yang ‘SAHIH’ !!!

No. 18 : (Hal. 37 no. 2)
Hadis : ‘Jika salah seorang dari kalian tidur dibawah (sinar) matahari dan
ada bayangan menutupi dirinya, dan sebagian dirinya berada dalam bayangan itu dan bagian yang lain terkena (sinar) matahari, hendaknya ia bangun’. Al-Albani menyatakan bahwa Hadith ini ‘SAHIH’ dalam penelitiannya pada “Shahih Al-Jami’ Al-Shaghir wa Ziyadatuh (1/266/761)”, tetapi kemudian melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia katakan sebelumnya dengan dengan mengatakan bahwa hadis yang sama sebagai hadis ‘Dhoif’ pada penelitiannya atas kitab “Mishkat Al-Masabih, 3/1337 no. 4725, edisi ketiga”, dan ia menisbatkan hadis ini pada kitab ‘Sunan Abu Dawud’ !”

No. 19 : (Hal. 38 no. 3)
Hadis : ‘Sholat Jum’at adalah wajib bagi setiap muslim’. Al-Albani menilai
bahwa Hadith ini adalah hadis ‘Dhoif’, pada penelitiannya di kitab “Mishkat
Al-Masabih, 1/434″, Dan berkata : ‘Perawi hadis ini adalah terpercaya tetapi (sanadnya) tidak bersambung sebagaimana diindikasikan oleh Imam Abu Dawud’. Kemudian ia menentang dirinya sendiri dalam Kitab “Irwa al-Ghalil, 3/54 no. 592″, dengan menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang ‘SAHIH’ !!! Maka berhati-hatilah, Wahai orang yang bijaksana !?!

No. 20 : (hal. 38 no. 4)
Al-Albani membuat kontradiksi yang lain. Ia menganggap Al-Muharrar ibn Abu Huraira sebagai perawi terpercaya di satu tempat dan didhoifkan ditempat yang lain. Al-Albani menyatakan dalam kitab “Irwa al-Ghalil, 4/301″ bahwa ‘Muharrar adalah terpercaya dengan pertolongan Allah SWT, dan Al-Hafiz (yaitu Ibn Hajar) mengomentarinya ‘Dapat diterima’, bahwa pernyataan ini (yaitu penilaian Al-Hafidz Ibn Hajar -pent) tidak dapat diterima, oleh karena itu sanadnya shohih’. Kemudian ia menentang dirinya sendiri dalam kitab “Sahihah 4/156″ dimana ia menjadikan sanadnya ‘Dhoif’, dengan berkata : ”Para perawinya seluruhnya adalah para perawi Imam Bukhori” , kecuali Al-Muharrar yang merupakan salah satu perawi Imam An-Nasa’I dan Ibn Majah saja. Ia tidak dipercaya kecuali hanya Ibn Hibban, dan karena sebab itulah Al-Hafidz Ibn Hajar tidak mempercayainya, hanya saja ia berkata ‘Dapat Diterima’ ?!? Berhati-hatilah dari penyimpangan ini !!

No. 21: (hal. 39 no. 5)
Hadis : Abdullah Ibn Amr ra. : ‘Sholat Jum’at menjadi wajib bagi siapapun
yang medengar seruannya’ (HR. Abu Dawud). Al-Albani menyatakan bahwa hadis adalah hadis ‘Hasan’ dalam “Irwa Al-Ghalil 3/58″, Kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa hadis yang sama adalah ‘Dhoif’, dalam Kitab “Mishkatul Masabih 1/434 no 1375″ !!!

No. 22 : (Hal. 39 no. 6)
Hadis : Anas Ibn malik ra. berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda :
‘Janganlah menyulitkan diri kalian sendiri, kalau tidak Allah akan
menyulitkan dirimu. Tatkala ada manusia yang menyulitkan diri mereka, maka Allah-pun akan menyulitkan mereka’ (HR. Abu Dawud).

Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini ‘Dhoif’ pada penelitiannya dalam kitab “Mishkat, 1/64″, Kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa hadis yang sama adalah ‘Hasan’ dalam Kitab “Ghayatul Maram, Hal. 141″ !!

No. 23 : (Hal. 40 no. 7)
Hadis dari Sayidah Aisyah ra. : ‘Siapapun yang memberitahukan kepadamu bahwa Nabi SAW buang air kecil dengan berdiri, maka jangan engkau mempercayainya. Beliau tidak pernah buang air kecil kecuali beliau dalam keadaan duduk’ (HR. Ahmad, An-Nasa’I dan At-Tirmidzi).

Al-Albani menyatakan bahwa sanad hadis ini adalah ‘Dhoif’ dalam “Mishkat 1/117.” Kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa hadis yang sama adalah ‘SAHIH’ dalam “Silsilat Al-Ahadis Al-Shahihah 1/345 no. 201″ !!! Maka ambillah pelajaran dari ini, wahai pembaca yang mulia !?!

No. 24 : (Hal. 40 no. Cool
Hadis : Ada 3 kelompok orang, dimana para Malaikat tidak akan mendekat : 1). Mayat dari orang kafir; 2). Laki-laki yang menggunakan parfum wanita; 3). Seseorang yang melakukan jima’ (hubungan sex -pent) sampai ia membersihan dirinya’ (HR. Abu Dawud).
Al-Albani meneliti hadis ini dalam “Shahih Al-Jami Al-Shaghir wa Ziyadatuh, 3/71 no. 3056″ dengan menyatakan bahwa hadis ini ‘HASAN’ pada penelitian dalam kitab “Al-Targhib 1/91″ [Ia juga menyatakan hadis ini 'Hasan' pada bukunya yang diterjemahkan dakam bahasa inggris dengan judul 'The Etiquettes of Marriage and Wedding, hal. 11]. Kemudian ia membuat pertentangan yang aneh dengan menyatakan bahwa hadis yang sama adalah ‘Dhoif’ pada penelitiannya dalam kitab “Mishkatul-Masabih, 1/144 no. 464″ dan menegaskan bahwa para perawi hadis ini adalah terpercaya, namun sanadnya ada yang terputus antara Al-Hasan Al-Basri dan Ammar ra., sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Mundhiri dalam Kitab ‘Al-Targhib (1/91)’ !?!

No. 25 : (Hal. 42 no. 10)
Imam Malik meriwayatkan bahwa ‘Ibn Abbas ra. biasanya meringkas sholatnya pada jarak perjalanan antara Makkah dan Ta’if atau Makkah dan Usfan atau antara Makkah dan Jeddah’ . . . .

Al-Albani mendhoif-kan hadis ini dalam kitab “Mishkat, 1/426 no. 1351″,
tetapi kemudian ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia katakan sebelumnya dengan dengan mengatakan bahwa hadis yang sama sebagai hadis ‘SAHIH’ dalam “Irwa Al-Ghalil, 3/14″ !!

No. 26 : (Hal. 43 no. 12)
Hadis : ‘Tinggalkan orang-orang Ethoipia selama mereka meninggalkanmu, karena tidak seorangpun akan mengambil harta yang berada di Ka’bah kecuali seseorang yang mempunyai dua kaki yang lemah dari Ethoipia’.

Al-Albani telah mendhoif-kan hadis ini dalam kitab “Mishkat 3/1495 no.
5429″ dengan mengatakan bahwa : “Sanad hadis ini Dhoif”. Tetapi kemudian ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia katakan sebelumnya (sebagaimana kebiasannya), dengan mengoreksi penilaiannya atas hadis yang sama dalam Kitab “Shahihah, 2/415 no. 772.”

No. 27 : (Hal. 32)
Ia memuji Syeikh Habib al-Rahman al-Azami dalam kitab ‘Shahih Al-Targhib wa Tarhib, hal. 63′, dimana ia berkata : ‘Saya ingin agar anda mengetahui satu hal yang membanggakan saya ….. dimana kitab ini telah dikomentari oleh Ulama yang terhormat dan terpandang yaitu Syeikh Habib al-Rahman al-Azami” . . . dan ia juga mengatakan pada halaman yang sama, ”Dan yang membuatku lebih merasa senang dalam hal ini, bahwa kajian serta hasil penelitian ini ditanggapi (dengan baik -pent) oleh Syeikh Habib Al-Rahman Al-Azami. . . .”

Al-Albani yang sebelumnya memuji Syeikh al-Azami dalam buku diatas, kemudian membuat pertentangan lagi dalam pengantar dari bukunya yang berjudul ‘Adab Az-Zufaf’ (The Etiquettes of Marriage and Wedding), edisi terbaru hal. 8, dimana ia disitu berkata : ‘Al-Ansari telah menggunakan dalam akhir dari suratnya, salah satu dari musuh As-Sunnah, Hadis dan Tauhid, dimana orang yang terkenal dalam hal ini adalah Syeikh Habib Al-Rahman Al-Azami. . . . . disebabkan karena sikap pengecutnya dan sedikit mengambil dari para Ulama . . . . .”

NB : (Nukilan diatas berasal dari Kitab ‘Adab Az-Zufaf’ , tidak ditemukan
dalam terjemahan versi bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh para
pengikutnya, yang menunjukkan mereka dengan sengaja tidak menerjemahkan bagian tertentu dari keseluruhan kitab tersebut). Oleh karena itu perhatikan penyimpangan ini, Wahai para pembaca yang mulia ?!?

No. 28 : (Hal. 143 no. 1)
Hadis dari Abi Barza ra. : ‘Demi Allah, engkau tidak akan menemukan orang yang lebih (baik -pent) daripada diriku’ (HR. An-Nasa’I 7/120 no. 4103).

Al-Albani mengatakan bahwa Hadis ini adalah ‘SAHIH’ dalam kitab “Shahih
Al-Jami wa Ziyadatuh, 6/105 no. 6978″, dan secara aneh menentang dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa hadis yang sama adalah ‘Dhoif’ dalam kitab “Dhoif Sunan Al-Nasa’i, pg. 164 no. 287.”Maka berhati-hatilah dari penyimpangan ini ?!?

No 29 : (Hal. 144 no. 2 )
Hadis dari Harmala Ibn Amru Al-Aslami dari pamannya : ”Melempar batu
kerikil saat ‘Jimar’ dengan meletakkan ujung ibu jari pada jari telunjuk”
(Shahih Ibn Khuzaimah, 4/276-277 no. 2874) .

Al-Albani sedikit saja mengetahui kelemahan dari hadis ini yang dinukil
dalam “Shahih Ibn Khuzaimah”, (dengan berani -pent) ia mengatakan bahwa sanad hadis ini adalah ‘Dhoif’, kemudian seperti biasanya ia menentang dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa hadis yang sama adalah ‘SAHIH’ pada “Shahih Al-Jami’ wa Ziyadatuh, 1/312 no. 923 !”

No 30 : (Hal.144 no. 3 )
Hadis dari Sayyidina Jabir ibn Abdullah ra. : ”Nabi SAW pernah ditanya
tentang masalah ‘junub’ … bolehkah ia (yaitu orang yang sedang
junub -pent) makan, minum dan tidur …Beliau menjawab : ‘Boleh’, jika orang ini melakukan wudhu’ ” (HR. Ibn Khuzaimah no. 217 ; HR. Ibn Majah no. 592).

Al-Albani telah menuduh bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam komentarnya dalam “Ibn Khuzaimah, 1/108 no. 217″, kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan mengoreksi status dari hadis diatas dalam kitab “Shahih Ibn Majah, 1/96 no. 482 ” !!

No. 31 : (Hal. 145 no. 4)
Hadis dari Aisyah ra. : ‘Tong adalah tong (A vessel as a vessel), sedangkan makanan adalah makanan’ (HR. An-Nasa’I , 7/71 no. 3957).

Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini ‘SAHIH’ dalam “Shahih Al-Jami’ wa
Ziyadatuh, 2/13 no. 1462″, kemudian ia menentang dirinya sendiri dalam kitab “Dhoif Sunan Al-Nasa’i, no. 263 hal. 157″ dengan menyatakan
bahwa hadis ini adalah ‘Dhoif’ !!!

No. 32 : (Hal. 145 no. 5)
Hadis dari Anas ra. : Hendaknya setiap orang dari kalian memohon kepada Allah SWT untuk seluruh kebutuhannya, walaupun untuk tali sandal kalian jika ia putus’.

Al-Albani menyatakan bahwa Hadis diatas adalah ‘HASAN’ dalam penelitiannya pada kitab “Mishkat, 2/696 no. 2251 and 2252″, kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan mengoreksi status hadis ini dalam kitab “Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuh, 5/69 no. 4947 dan 4948″ !!!

No 33 : (Hal. 146 no. 6 )
Hadis dari Abu Dzar ra. : ”Jika engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah
pada tengah bulan (antara tanggal -pent) 13,14 dan 15 (tiap bulan qomariyah -pent)”.

Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam kitab “Dhoif Sunan
An-Nasa’i, hal. 84″ dan pada komentarnya dalam kitab “Ibn Khuzaimah, 3/302 no. 2127″, kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan mengoreksi status hadis ini sebagai hadis yang ‘SAHIH’ dalam kitab “Shahih Al-Jami’ wa Ziyadatuh, 2/10 no. 1448″ dan juga mengoreksinya dalam kitab “Shahih An-Nasa ‘i, 3/902 no. 4021″ !! Sungguh kontrdiksi yang sangat aneh ?!?

NB : (Al-Albani menyebutkan hadis ini dalam ‘Shahih Al-Nasa’i’ dan dalam
‘Dhoif An-Nasa’I’, yang membuktikan bahwa ia tidak memperhatikan apa yang telah ia lakukan dan kelompokkan). Betapa mengherankannya hal ini !?!.

No. 34 : (Hal. 147 no. 7)
Hadis dari Sayidah Maymunah ra. : ”Tidak seorangpun mengambil pinjaman, maka hal itu pasti berada dalam pengetahuan Allah SWT .. (HR. An-Nasa’I,7315 dan lainnya).

Al-Albani menyatakan dalam kitab “Dhoif An-Nasa’i, hal. 190″: ” Shahih,
kecuali bagian ‘Al-Dunya’ ”. kemudian seperti biasanya ia menentang dirinya sendiri dalam kitab “Shahih Al-Jami’ wa Ziyadatuh, 5/156″, dengan mengatakan bahwa seluruh hadis ini adalah ‘SAHIH’, termasuk bagian ‘Al-Dunya’. Lihatlah sungguh sebuah kontradiksi yang menakjubkan ?!?

No 35 : (Hal. 147 no. 8 )
Hadis dari Buraida ra. : ”Kenapa aku melihat engkau memakai perhiasan para penghuni neraka” (maksudnya adalah cincin besi) (HR. AN-Nasa’I 8/172 dan lainnya).

Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini adalah ‘Shohih’ dalam kitab “Shahih Al-Jami’ wa Ziyadatuh, 5/153 no. 5540″, kemudian seperti biasanya ia menentang dirinya sendiri dengan menyatakan hadis yang sama sebagai hadis ‘Dhoif’ dalam kitab “Dhoif An-Nasa’I , hal. 230″ !!!

No 36 : (Hal. 148 no. 9 )
Hadis dari Abu Hurairah ra. : ”Siapapun yang membeli karpet untuk tempat duduk, maka ia punya waktu 3 hari untuk meneruskan atau mengembalikannya dengan catatan tidak ada noda coklat pada warnanya ” (HR. An-Nasa’I 7/254 dan lainnya).

Al-Albani mendhoifkan hadis ini yang ditujukkan pada bagian lafadz ‘3 hari’ yang terdapat dalam kitab “Dhoif Sunan An-Nasa’i, hal. 186″, dengan
mengatakan : ” Benar, kecuali bagian ‘3 hari’ ”. Akan tetapi kontradiksi
yang ‘jenius’ kembali ia lakukan dengan mengoreksi kembali status hadis ini dan termasuk bagian lafadz ‘3 hari’ dalam kitab “Shahih Al-Jami’ wa
Ziyadatuh, 5/220 no. 5804″. Jadi sadarlah (Wahai Al-Albani) ?!?

No. 37 : (Hal. 148 no. 10)
Hadis dari Abu Hurairah ra. : ‘Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari
sholat Jum’at maka ia telah mendapatkan (seluruh raka’at -pent)’ (HR. Ibn Majah 1/356 dan lainnya).

Al-Albani mendhoifkan hadis ini dalam kitab “Dhoif Sunan An-Nasa’i, no. 78 hal. 49″, dengan mengatakan : “Tidak normal (Syadz), dimana lafadz ‘Jum’at’ disebutkan” (dalam hadis ini -pent). Kemudian seperti biasanya ia menentang dirinya sendiri dengan menyatakan hadis yang sama sebagai hadis ‘Shohih’, termasuk bagian lafadz ‘Jum’at’ dalam kitab “Irwa, 3/84 no. 622 .” Semoga Allah SWT meluruskan kesalahan-kesalahanmu ?!?

BERBAGAI KONTRADIKSI YANG DILAKUKAN ALBANI DALAM MENILAI PERAWI HADIS

No 38 : (Hal. 157 no 1 )
KANAAN IBN ABDULLAH AN-NAHMY :- Al-Albani berkata dalam “Shahihah, 3/481″ :
“Kanaan dianggap hasan, karena ia didukung oleh Ibn Mu’in”. Al-Albani
kemudian membuat pertentangan bagi dirinya dengan mengatakan, ”Hadis dhoif karena Kanaan” (Lihat Kitab “Dhoifah, 4/282″)!!

No 39 : (Hal. 158 no. 2 )
MAJA’A IBN AL-ZUBAIR : - Al-Albani telah mendhoifkan Maja’a dalam “Irwaal-Ghalil, 3/242″, dengan mengatakan bahwa: ” Sanad ini lemah karena Ahmad telah berkata : Tidak ada yang salah dari Maja’a, dan Daruqutni telah melemahkannya …”.

Al-Albani kemudian membuat kontradiksi lagi dalam kitab “Shahihah, 1/613″,dengan mengatakan : ”Orang ini (perawi hadis) adalah terpercaya kecuali Maja’a, dimana ia adalah seorang perawi hadis yang baik”. Sungguh kontradiksi yang ‘menakjubkan’ !?!

No 40 : (Hal. 158 no. 3 )
UTBA IBN HAMID AL-DHABI : - Al-Albani telah mendhoifkannya dalam kitab “Irwa Al-Ghalil, 5/237″, dengan mengatakan : ‘Dan ini adalah sanad yang dhoif karena tiga sebab … Salah satunya adalah sebab kedua, karena lemahnya Al-Dhabi, Al-Hafiz berkata : ”perawi yang terpercaya namun sering salah (dalam meriwayatkan hadis -pent)”.

Al-Albani kembali membuat kontradiksi yang sangat aneh dalam kitab
“Shahihah, 2/432″, dimana ia menyatakan bahwa sanad yang menyebutkan Utba : ”Dan ini adalah sanadnya hasan, Utba ibn Hamid al-Dhabi adalah perawi terpercaya namun sering salah, dan sisanya dalam sanad ini adalah para perawi yang terpercaya ???

No 41 : (Hal. 159 no. 4 )
HISHAM IBN SA’AD : Al-Albani berkata dalam kitab “Shahihah, 1/325″ : “Hisham ibn Sa’ad adalah perawi hadis yang baik.” Kemudian ia menentang dirinya sendiri dalam kitab “Irwa Al-Ghalil, 1/283″ dengan menyatakan: “Akan tetapi Hisham ini lemah hafalannya”. Lihat betapa ‘menakjubkan’ ???

No 42 : (hal. 160 no. 5 )
UMAR IBN ALI AL-MUQADDAMI :- Al-Albani telah melemahkannya dalam kitab “Shahihah, 1/371″, dimana ia berkata : ”Ia sendiri sebetulnya adalah terpercaya namun ia pernah melakukan pemalsuan yang sangat buruk yang membuatnya tidak terpercaya..”. Al-Albani kemudian ia menentang dirinya sendiri dalam kitab “Sahihah, 2/259″ dengan menerimanya dan menggambarkannya sebagai perawi yang terpercaya pada sanad yang didalamnya menyebutkan Umar ibn Ali. Al-Albani berkata : ”Dinilai oleh Al-Hakim, yang berkata : ‘A shohih isnad (sanadnya shohih -pent)’, dan Adz-Dzahabi menyepakatinya, dan hadis (statusnya -pent) ini sebagaimana yang mereka katakan (yaitu hadis shohih -pent).” Sungguh ‘menakjubkan’ !?!

No 43 : (Hal. 160 no. 6 )
ALI IBN SA’EED AL-RAZI : Al-Albani telah melemahkannya dalam kitab “Irwa, 7/13″, dengan menyatakan : “Mereka tidak mengatakan sesuatu yang baik tentang al-Razi.” Al-Albani kemudian ia menentang dirinya sendiri dalam kitab-nya yang lain yang ‘menakjubkan’ yang ia karang yaitu kitab “Shahihah, 4/25″, dengan berkata : “Ini sanad (hasan) dan para perawinya adalah terpercaya”. Maka berhati-hatilah ?!?

No 44 : (Hal. 165 no. 13 )
RISHDIN IBN SA’AD : Al-Albani berkata dalam kitabnya “Shahihah, 3/79″ : “Didalamnya (sanad) ada perawi bernama Rishdin ibn Sa’ad, dan ia telah dinyatakan terpercaya”. Tetapi ia kemudian ia menentang dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa ia adalah ‘Dhoif’ dalam kitab “Dhoifah, 4/53″; dimana ia berkata : “Dan Rishdin ibn Sa’ad adalah Dhoif”. Maka
berhati-hatilah dengan hal ini !!

No 45 : (Hal. 161 no. 8 )
ASHAATH IBN ISHAQ IBN SA’AD : Sungguh aneh pernyatan Syeikh Albani ini ?!? Dia berkata dalam kitab “Irwa A-Ghalil, 2/228″: ‘Statusnya tidak diketahui dan hanya Ibn Hibban yang mempercayainya”. Tetapi kemudian menentang dirinya sendiri sebagaimana biasanya ! karena ia hanya menukil dari kitab dan tidak ada hal lain yang ia lakukan, kemudian ia sebatas menukilnya tanpa pengetahuan yang memadai, hal ini terbukti dalam kitab “Shahihah, 1/450″, dimana ia berkata mengenai Ashath : ”Terpercaya”. Sungguh ‘menakjubkan’ apa yang ia lakukan !?!

No 46 : (hal.162 no. 9 )
IBRAHIM IBN HAANI : Yang mulia ! Yang Jenius ! Sang Peniru ! telah membuat Ibrahim Ibn Hani menjadi perawi terpercaya disatu tempat dan menjadi tidak dikenal (majhul) ditempat yang lain. Al-Albani berkata dalam kitab ‘Shahihah, 3/426′: “Ibrahim ibn Hani adalah terpercaya”, Tetapi kemudian menentang dirinya sendiri seperti yang ia tulis didalam kitab “Dhoifah, 2/225″, dengan menyatakan bahwa ‘ia tidak dikenal dan hadisnya tertolak’ ?!?

No 47 : (Hal. 163 no. 10 )
AL-IJLAA IBN ABDULLAH AL-KUFI : Al-Albani telah meneliti sebuah sanad
kemudian menyatakan bahwa sanad tersebut baik dalam kitab “Irwa, 8/7″, dengan kalimat : ”Dan ini adalah sanad yang baik, para perawinya
terpercaya, kecuali untuk Ibn Abdullah Al-Kufi yang merupakan orang yang terpercaya”. Tetapi kemudian menentang dirinya sendiri dengan mendhoifkan sanad yang didalamnya terdapat Al-Ijla dan menjadikan keberadaannya (yaitu Al-Ijla -pent) untuk dijadikan sebagai alasan bahwa hadis itu ‘Dhoif’ (Lihat kitab ‘Dhoifah, 4/71′); dimana ia berkata :” Ijla Ibn Abdullah adalah lemah ”. Al-Albani lalu menukil pernyataan Ibn Al-Jauzi (Rahimahullah), dengan mengatakan bahwa : ”Al-Ijla tidak mengetahui apa yang ia katakan” ?!?

No 48 : (Hal. 67-69 )
ABDULLAH IBN SALIH : KAATIB AL-LAYTH :- Al-Albani telah mengkritik Al-Hafiz Al-Haitami, Al-Hafiz Al-Suyuti, Imam Munawi and Muhaddis Abu’l Fadl Al-Ghimari (Rahimahullah) dalam bukunya “Silsilah Al-Dhoifah, 4/302″, ketika meneliti sebuah sanad hadis yang didalamnya terdapat Abdullah ibn Salih. Ia berkata di halaman 300 : ”Bagaimana sebuah hadis yang didalamnya terdapat Abdullah ibn Salih akan menjadi baik dan hadisnya menjadi bagus, meskipun ia banyak melakukan kesalahan dan ketelitiannya yang kurang, serta ia pernah memasukkan sejumlah hadis yang bermasalah dalam kitabnya, dan ia menukil hadis-hadis itu tanpa mengetahui (status -pent) darinya”. Ia tidak menyebutkan bahwa Abdullah Ibn Salih adalah salah seorang dari perawi Imam al-Bukhari (yaitu para perawi yang digunakan oleh Imam Bukhari dalam kitab
shohih-nya -pent), hanya karena hal ini ‘tidak cocok dengan seleranya’, dan ia juga tidak menyebutkan bahwa Ibn Mu’in dan sejumlah kritikus hadis ternama telah menyatakan bahwa mereka adalah ‘terpercaya’. Tetapi kemudian ia menentang dirinya sendiri pada bagian lain dari kitabnya dengan menjadikan hadis yang didalam sanadnya terdapat Abdullah Ibn Salih sebagai hadis yang baik, dan inilah nukilannya :

Al-Albani berkata dalam Silsilah Al-Shahihah, 3/229″ : “Dan sanad hadis ini baik, karena Rashid ibn Sa’ad adalah terpercaya menurut Ijma’ (kesepakatan para Ulama hadis -pent), dan siapakah yang lebih darinya sebagai perawi dari hadis Shohih, dan didalamnya terdapat Abdullah Ibn Salih yang pernah mengatakan sesuatu yang tidak membahayakan dengan pertolongan Allah SWT” ?!? Al-Albani juga berkata dalam “Sahihah, 2/406″ tentang sanad yang didalamnya terdapat Ibn Salih : “Sanadnya baik dalam hal ketersambungannya” dan ia katakan lagi dalam kitab “Shahihah 4/647″ : ”Hadisnya baik karena bersambung”.

PENUTUP

Setelah kita menyimak berbagai contoh kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak oleh ‘Yang Terhormat Al-Muhaddis Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani’ oleh ‘Al-Alamah Syeikh Muhammad Ibn Ali Hasan As-Saqqof’ dimana dalam kitab-nya tersebut beliau (Rahimahullah) menunjukkan ± 1200 kesalahan dan penyimpangan dari Syeikh Al-Albani dalam kitab-kitab yang beliau tulis seperti contoh diatas. Maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa bidang ini tidak dapat digeluti oleh sembarang orang, apalagi yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang layak untuk menyadang gelar ‘Al-Muhaddis’ (Ahli Hadis) dan tidak memperoleh pendidikan formal dalam bidang ilmu hadis dari Universitas-universitas Islam yang terkemuka dan ‘Para Masyaik’h yang memang ahli dalam bidang ini.

Dan Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar hanya ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya :

“Menurut sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis. Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya ,bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddis bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).

Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah ‘Para Muhaddis’ generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’I, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll.

Sehingga apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk Ghuluw -pent) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk -pent) dengan sebagian Syeikh yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih !?!!.

Sehingga bukan Sunnah Nabi yang dibela dan ditegakkan, malah sebaliknya yang muncul adalah fitnah dan kekacauan yang timbul dari pekerjaan dan karya-karyanya, sebagaimana contoh-contoh diatas.

Ditambah lagi dengan munculnya sikap arogan, dimana dengan mudahnya kelompok ini menyalahkan dan bahkan membodoh-bodohkan para Ulama, karena berdasar penelitiannya (yang hasilnya (tentunya) perlu dikaji dan diteliti ulang seperti contoh diatas), mereka ‘berani’ menyimpulkan bahwa para Ulama Salaf yang mengikuti salah satu Imam Madzhab ini berhujah dengan hadis-hadis yang lemah atatu dhoif dan pendapat merekalah yang benar (walaupun klaim seperti itu tetaplah menjadi klaim saja, karena telah terbukti berbagai kesalahan dan penyimpangannya dari Al-Haq).

Oleh karena itu para Ulama Salaf Panutan Umat sudah memperingatkan kita akan kelompok orang yang seperti ini sbb :

- Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadis yang bermadzab Hanafi menukil
pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15 : ”Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan ,padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadis (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadis yang bertentangan dengan madzab Abu Hanifah, lalu berkata buanglah madzab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadis Rasul SAW. Padahal hadis ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanadnya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkannya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak
kepadanya maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ”.

- Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz
2hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila
bahwa ia berkata : ” Seorang tidak dianggap memahami hadis kalau ia
mengetahui mana hadis yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan”.

- Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2hal. 427; Ibn Wahab berkata : ”Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadis dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ”Ambillah dan tinggalkan itu”.

- Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ”Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadis) serta mempelajarinya ?, Mereka menjawab : ‘Ya’ , Beliau berkata : Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadis ini dan Allah menjadikannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajarilah lebih dalam ”. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz IIhal. 28.

- Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz IIhal.
15-19, duatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata : ” Perhatikan hadis yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh”.

- Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz Ihal. 66, dengan penjelasan yang
panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, a.l :

a- Umar bin Khotab berkata diatas mimbar: ”Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan yang diamalkan”.

b- Imam Malik berkata : ”Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah
menyampaikan hadis-hadis, lalu disampaikan kepada mereka hadis dari orang lain, maka mereka menjawab : ”Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini. Tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini” .

c- Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya : ”Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadis begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab: ”Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamalannya tidak seperti itu” .

d- Ibn Abi zanad , “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang diamalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadis yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang terpercaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.

e- Al- Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala
Kholaf’hal.9, berkata: “Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadis sesungguhnya
mengikuti hadis shohih jika hadis itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan”.

Sehingga cukuplah hadis dari Baginda Nabi SAW berikut untuk mengakhiri
kajian kita ini, agar kita tidak menafsirkan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya :

Artinya : ”Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yang amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya : ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’ ?. Beliau menjawab : ”Orang bodohpandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak” (HR. Al-Hakim jilid 4hal. 512No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadis ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2hal. 1339no. 4036; HR. Ahmad jilid 2hal. 219,338No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6hal. 378no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18hal. 67No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).

NB : (Syeikh Saqqof kemudian melanjutkan dengan sejumlah nasihat yang penting, yang karena alasan tertentu tidak diterjemahkan, akan tetapi lebih baik bagi anda untuk menilik kembali kitab ini dalam versinya yang berbahasa arab).

Dengan pertolongan Allah, nukilan yang berasal dari kitab Syeikh Saqqof
cukup memadai untuk menyakinkan para pencari kebenaran, serta menjelaskan siapakah sebenarnya orang yang awam dengan sedikit pengetahuan tentang ilmu hadis.

Perhatikan peringatan Al-Hafidz Ibn Abdil Barr berikut: ” Dikatakan oleh Al-Qodhi Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr mencela dua golongan, yang pertama , golongan yang tenggelam dalam ra’yu dan berpaling dari Sunnah, dan kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal bodoh ” (menyampaikan hadis, tetapi tidak mengetahui isinya -pent) (Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz IIhal. 171).

Syeikhul Islam Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam I’lamu Al-Muwaqqi’in juz Ihal. 44, dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: ” Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi SAW, perbedaan Sahabat dan Tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat mengamalkan dengan benar”.

THE IMAM AL-NAWAWI HOUSE

PO BOX 925393

AMMAN

JORDAN

NB : Dinukil dan disusun secara bebas dari kitab Syeikh Muhammad Ibn Ali Hasan As-Saqqof yang berjudul ‘Tanaqadat al- Albani al-Wadihat’
(Kontradiksi yang sangat jelas pada Al-Albani) oleh Syeikh Nuh Ha Mim Killer dan kawan-kawan, dalam versi bahasa Inggris dengan judul ‘AL-ALBANI’S WEAKENING OF SOME OF IMAM BUKHARI AND MUSLIM’S AHADITH
Read More »

Friday, October 15, 2010

Kisah Insyafnya Seorang Ulama Wahabi

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin--ulama Wahabi kontemporer yang sangat populer--mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Whhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa'di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa'di, termasuk ulama Wahabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid 'Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin 'Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halaqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan tawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka'bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka'bah itu,

"Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik."

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halaqah al-Imam al-Sayyid 'Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu. Ternyata Sayyid 'Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka'bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu,

"Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid 'Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini."

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi baduwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa'di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid 'Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa'di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid 'Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tata krama layaknya seorang ulama, Syaikh Ibnu Sa'di bertanya kepada Sayyid 'Alwi:

"Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka'bah itu ada berkahnya?"

Sayyid 'Alwi menjawab:

"Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah."

Syaikh Ibnu Sa'di berkata:

"Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Sayyid 'Alwi menjawab:

"Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:


وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً مُبَارَكًا

"Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. 50:9).

Allah SWT juga berfirman mengenai Ka'bah:


﴾إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ ﴿٩٦

"Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. 3:96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka'bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini."

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di merasa heran dan kagum kepada Sayyid 'Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa'di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid 'Alwi:

"Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini."

Kemudian Syaikh Ibnu Sa'di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid 'Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid 'Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa'di:

"Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa'di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka'bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain."

Akhirnya mendengar saran Sayyid 'Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di segera bangkit menuju saluran air di Ka'bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa'di ini, para polisi Baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.

Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam 'Alwi bin 'Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.

Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.

Penulis: KH. Idrus Ramli



Read More »

Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Ijtihad

Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.

Asal kata

Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,

Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:


مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ


Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.

Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

* istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.
* secara garis besar sudah diterangkan pula artinya.

Pengertian

Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:

* Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
* Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.
* Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".
* Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.

Analisis

Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

* Kata ahlu sudah jelas.

* Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.

* Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.
* Kata aljamaah berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui:
o sebab musabab sesuatu hadits timbul,
o situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan
o hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.

Kalau kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah.

Faktor penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya.

Bukan suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.

Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.

Dengan pengertian inilah kata assunnah dengan aljamaa dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena itu disimpulkan pengertian:

• assunnah wal jamaah: persis sama dengan


مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ


, yaitu:

1. ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan
2. dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.

* ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Secara popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.

Proses perkembangan

Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.

Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke kiri.

Hal yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan Syiah yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah.

Kemudian muncul golongan Khawarij yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.

Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu'tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.

Semula perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut.

Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:

* Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.

* Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.

* Sisa-sisa kepercayaan lama dan israiliyat yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.

* Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan sulit.

Disamping penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan assunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur penyelewengan.

Prinsip kebenaran

Selain perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah agar terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain:

* nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.

* ar-ra'yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya.

* penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.

* bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.

* sikap tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan sikap tawazun yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.

Metoda yang dibekalkan oleh para ulama salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah antara lain:

* Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.

* Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.

Sebenarnya masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang.

Argumentasi

Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan argumentasi:

1. Nash qath'iy yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.

2. Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.

3. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul.

4. Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:
Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu.

Siapakah yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid.

5. Umat Islam yang harus bersikap tawassuth, jalan tengah lurus, dan tawazun, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth dan tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter ini. Sudah barang tentu sikap tawassuth harus tidak menyeleweng dari kaidah agama yang lebih mutlak.

Perilaku ahlus sunnah wal jamaah

Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:

1. Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut.
2. Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.
3. Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.
4. Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.
5. Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap toleran, tawassuth, dan tawazun.

Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis assunnah wal jamaah. Tetapi setiap muslim dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Anggapan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Mungkin di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.

Kaum muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan jaringan liberal.

Berijtihad vs bermadzhab

Berbicara tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra'yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.

Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.

Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.

Persyaratan ijtihad

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:

1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.

Jika dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif:

* Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.
* Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.

Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.

Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

Ada alternatif lain yang disebut ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:

* Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
* Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.

Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.

Pihak yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya.

Pertentangan yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.

Penyakit lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama.

Penyakit yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang berakibat kehilangan segala-galanya.

Sepanjang sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan menggantikan.

Karena itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari kegagalan.

Reorientasi agamawi

Salah satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang gemilang.

Terkadang kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut.

Mari kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia.

Perjuangan untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.

Karena itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan:


اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا * لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ ...


Generasi muda ialah mereka yang berani berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata: "Aku keturunan tokoh anu ..."

Kesimpulan

1. Ahlus sunnah wal jamaah adalah golongan yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah, yaitu yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.
2. Penggunaan ar-ra'yu atau akal untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid, maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang disebut dengan bermadzhab.
3. Generasi muda perlu memahami akar masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.
4. Generasi tua perlu memberikan bimbingan terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi mudanya saat ditinggalkan.

Penyusun
A. Muchith Muzadi (Jember, 21 Muharram 1395)
Editor:
Ahmed Machfudh(Jakarta, 21 Dzulhijjah 1425)

http://pesantren.or.id
Read More »