Tuesday, June 30, 2009

Aswaja Tantangan Masa Kini Di Indonesia

23/06/2009

Oleh Sri Sofiati Umami *

Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.

Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.

Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.

Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).

Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.

Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.

Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.

Yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.

Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.

Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.

Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun harus mondial.

Sejauh ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama melalui forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars) sudah tiga kali menggelar pertemuan para ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk tujuan dimaksud: tujuan luhur mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Ke dalam, penggairahan masjid sebagai pusat peradaban dan institusi perawatan nilai-nilai juga disadari semakin penting dilakukan. Manakala masjid berfungsi merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman tadi bisa dilawan pengaruhnya.

Tentu saja, penyikapan yang komprehensif harus diupayakan secara menerus. Nilai dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen. Sudah saatnya, pada tingkat instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia memiliki misalnya, stasiun televisi, production house untuk membuat film berbasis nilai-nilai Aswaja, perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan segala institusi baru lainnya agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa dilakukan secara maksimal. Wallahua’lam

* Penulis adalah guru madrasah, tinggal di Pondok Pesantren Ta’limussibyan al-Manshuriyah Bonder, Lombok Tengah, NTB
Sumber : http://www.nu.or.id
Read More »

Monday, June 29, 2009

Prospektif Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam NU

Oleh : Ahmad Damanhuri Tuanku Mudo

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara konstitusional membela dan mempertahankan aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.

Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan aswaja.

Selama ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik). Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU. Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia. Lebih keras lagi Ben menuduh adanya prasangka ilmiah (scholarly prejudices) dalam studi-studi Indonesia yang membuat NU terabaikan dan terisolasi.

Keadaan agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992. Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Syahrastani dan Al-Razi.

Reinterpretasi aswaja NU

Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat dikonsepsikan : Ahlun berarti pemeluk aliran atau pengikut mazhab. Al-Sunnah berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara terminologi dapat didefenisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandasan atas dasar-dasar moderasi, menjaga kesinambungan dan toleran, dan shalat tarawih 23 rakaat. Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara orang luar NU terhadap perilaku warga NU sendiri.

Prospektif aswaja NU

Diskursus aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.

Pemikiran nyeleneh yang disebut terakhir ini, sebenarnya akibat langsung dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tradisionalis radikal (meminjam istilah Mitsuo Nakamura). Ia mengkombinasikan sintesis yang canggih dari apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmen terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional. Pemikiran radikal gaya Gus Dur kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh NU diantaranya Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA, Masdar F Mas’udi dan Fajrul Falakh.

Salah satu rekonstruksi aswaja adalah pandangan bahwa doktrin aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham aswaja berarti bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth, yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap moderat aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu). Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.

Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.

Lebih menarik, bila mengamati aswaja dalam NU. Terminologi aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub. Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat bahwa berhaluan aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa aswaja sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.

Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.

Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.

Pengurus Departemen Agama dan Idiologi PW. GP. Ansor Sumbar
Read More »