Sunday, September 29, 2013

Kyai H. Hasyim Asy'ari Sang Pendiri NU



Akidah merupakan pondasi sakral dalam agama. Penyimpangan akidah berarti menegasikan agama Islam itu tersendiri. KH. Hasyim ‘Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulam’, ketika hidup di masa kolonial Belanda mencermati bahwa banyak aliran-aliran pemikiran yang bisa melunturkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ciri yang dapat ditangkap dari figur Syekh Hasyim ini salah satu di antaranya adalah penguatan basic-faith (asas kepercayaan) kaum Muslim. Fatwa-fatwanya mengikuti sejumlah ulama’-ulama’ mutakallimun (teolog) dari madzhab Abul Hasan Asy’ari dan Maturidi. Organisasi NU yang didirikannya juga bertujuan melestarikan ajaran Ahlussunnah dalam masyarakat Nusantara, dengan menyatukan para ulama’ dan menepis fanatisme sempit terhadap kelompoknya. Buah pikirannya yang cemerlang dan melampaui zamannya (visioner) ini adalah salah satu hal yang menarik.

Figur Anti Paham Nyeleneh


Umat Islam Indonesia tentu berharap besar agar ormas-ormas Islam terbebas dari oknum yang berpaham liberal dan Syiah. NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sangat berperan penting menjaga keislaman Muslim Indonesia – apalagi pendirinya, KH. Hasyim Asy’ari, termasuk yang menolak keras segala bentuk penodaan akidah. Jika ada anak muda NU yang liberal, sejatinya mereka adalah oknum. Maka, sudah saatnya arus liberalisasi agama yang diusung oleh sebagian intelektual muda NU ditanggapi serius[1]. Sebab, pemikiran mereka sangat jauh dari ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari -- pendiri NU -- yang dikenal tegas terhadap pemikiran-pemikiran yang menodai kesucian agama.
Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari jangan sampai ditinggalkan Nahdliyyin (umat NU). Beliau adalah figur ulama’ Nusantara yang patut diteladani, tidak hanya bagi kalangan NU, tapi juga umat Islam lainnya di Indonesia.

KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama’ kenamaan yang lahir dari darah keturunan para ulama’. Ia lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari Selasa, 24 Dzulhijjah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, seorang ulama asal Demak Ayahnya, juga seorang ulama’ di daerah selatan Jombang yang memiliki pesantren. Kakeknya, Kyai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari berbagai daerah di seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kyai Sihah, juga ulama’, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Menginjak usia 15 tahun, KH. Hasyim berkelana ke berbagai pesantren yakni ke pesantren Wonokoyo Probolinggo, pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilin Madura, dan akhirnya ke pesantren Siwalan Surabaya. Di pesantren Siwalan ia menetap selama 2 tahun. Selama tujuh tahun ia nyantri di Makkah beliau berguru kepada masyayikh di tanah haram[2]. Di antaranya ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, Syekh ‘Alawi dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis yang berasal dari Termas Jawa Timur. Ia juga pernya belajar kepada Kyai Cholil Bangkalan (mbah Cholil), ulama Madura yang cukup disegani. Cukup banyak Kyai sepuh NU yang belajar kepadanya.

Sepulang ke tanah air, ia memulai tapak perjuangan melalui pendidikan dan organisasi sosial. Di bidang pendidikan ia mendirikan pesantren bercorak tradisional di Tebuireng Jombang. Untuk mengkonsolidasi dakwah secara efektif ia mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, yang artinya organisasi kebangkitan ulama’ pada 31 Januari tahun 1936.

Ia termasuk penulis produktif. Karya yang dibukukan sekarang ini ada sekitar lebih dari 19 kitab. Itu belum risalah-risalah pendek belum dicetak yang menurut informasi masih tersimpan di perpustakaan keluarga di Jombang. Barangkali Syekh Hasyim Asy’ari ingin meneladani Imam al-Ghazali dalam perjuangan. Imam al-Ghazali dalam gerakan pembaharuannya dengan membenahi ilmu dan ulama’. Syekh Hasyim Asy’ari dengan berdirinya NU, berusaha membangkitkan ulama’ dan semangat untuk kembali kepada ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ulama’ adalah ‘mesin’ dakwah Islam. Oleh sebab itu ketika terjadi krisis, ulama’ harus dibangkitkan, dibenahi keilmuannya dan diatur strategi perjuangannya. Syekh Hasyim sendiri adalah mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fikih, dalam bidang teologi mengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Maturidi. Madzhab dan teologi ini mayoritas dianut umat Islam Nusantara.
Dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan terekam nasihat-nasihat penting yang disampaikan dalam pidato mu’tamar NU ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya.

Ia menyeru kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh berjihad melawan akidah yang rusak dan pengkhina al-Qur’an. Untuk itu, ia mewanti-wanti agar menjaga keutuhan umat Islam dan tidak fanatik buta kepada perkara furu’[3].
Di hadapan peserta mu’tamar yang dihadiri para ulama’, Syekh Hasyim Asy’ari menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada satu madzhab. Sebaliknya ia mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah swt, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya. Ia mengatakan:

“Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perakar furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib”[4].

Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil, serta bijaksana, inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada Muktamar ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap masa depan warga Nadliyyin dan umat Islam Indonesia umumnya, terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah diprediksi mengalami tantangan yang berat.

Menurut Syekh Hasyim Asy’ari, fanatisme terhadap perkara furu’ itu tidak dipernkenankan oleh Allah swt, tidak diridlai oleh Rasulullah saw (al-Tibyan, hal. 33). Oleh sebab itu ia menyeru untuk bersatu padu, apapun mazhab fikihnya. Selama ia mengikuti salah satu madzhab yang empat, ia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda madzhab fikihnya, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu. Inilah sikap adil, yakni menempatkan perkara pada koridor syariah yang sebenarnya.

Dalam kitab yang sama, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.
Ditulis dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Seykh Hasyim Asy’ari mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam lautan fitnah, yaitu berdakwah mengajak kepada agama Allah akan tetapi dalam hati ia durhaka kepada-Nya[5].

Nahi Munkar Syekh Hasyim


Hadratus Syekh Hasyim Asyari, pernah menceritakan tentang keadaan pemikiran kaum Muslimin di pulau Jawa. Cerita itu kemudian ditulis dalam salah satu kitabnya, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah. Selain dalam kitab tersebut, juga diuraikan dalam karya-karya lain, tentang ajaran-ajaran yang menyimpang yang harus diluruskan.
Sejak NU didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, Syeikh Hasyim Asy’ari sudah mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham nyeleneh. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah.

Pada sekitar tahun 1330 H terjadi infiltrasi beragam ajaran dan tokoh-tokoh yang membawa pemikiran yang tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa waktu, yakni berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah[6].

Kyai Hasyim mengkritik orang-orang yang mengaku-ngaku pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, dengan menggunakan paradigma takfir terhadap madzhab lain, penganut aliran kebatinan, kaum Syiah Rafidhah, pengikut tasawwuf menyimpang yang menganut pemikiran manunggaling kawulo gusti[7].

Organisasi yang beliau dirikan, NU, bertujuan memperbaiki keislaman kaum Muslim nusantara dengan cara membangkitkan kesadaran ulama-ulama’ Nusantara akan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar. Diharapkan dengan wadah organisasi ini, para ulama’ bersatu padu membela akidah Islam.

Paradigma takfir, dalam bidan furu’, tidaklah tepat karena akan memcah belah kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam menyikapi perbedaan furuiyah, Kyai Hasyim melarang untuk bersikap fanatik buta. Ia mendorong keras kepada para ulama’ untuk bersama-sama membela akidah Islam. Maka, seruan untuk tidak fanatik buta terhadap pendapat ijtihad merupakan salah satu cara untuk menggalang kekuatan pemikiran dalam satu barisan.

Jika berdakwah dengan orang yang berbeda madzhab fikihnya, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada akidah yang benar.

Aliran Syiah yang mencaci sahabat Abu Bakar dan Umar adalah aliran yang dilarang untuk diikuti. Bagaimana bermuamalah dengan penganut Rafidhah? Beliau mengutip penjelasan Qadhi Iyadh tentang hadis orang yang mencela sahabat, bahwa ada larangan untuk shalat dan nikah dengan pencaci maki sahabat tersebut. Karena mereka sesungguhnya menyakiti Rasulullah saw.

Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain; "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.

Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali[8].

Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9)[9].

Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi saw.

Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi saw itu.
Hadis Nabi saw yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.

Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut.
Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah swt.

Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut.

Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang yang mencaci sahabatnya.

Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyadl.

Hadis-hadis Nabi saw yang dikutip dalam dua kitab tersebut antara lain berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka dia akan mendapat laknat Allah swt, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.

Pada masa lalu di Jawa juga telah muncul ajaran ibahiyyah. Kelompok ini mengajarakan pengguguran kewajiban syariah. Dijelaskannya, jika seseorang telah mencapai puncak mahabbah (cinta), hatinya ingat kepada Sang Maha Pencipta, maka kewajiban menjalan syariat menjadi gugur. Ibadah cukup hanya dengan mengingat Allah saja. Kyai Hasyim menyebut mereka sebagai kelompok sesat dan zindiq[10]. (Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 11).
Ajaran-ajaran lain yang menyusup merusak tasawwuf adalah ajaran inkarnasi, dan manunggaling kawula gusti. Menurut beliau orang yang meyakini inkarnasi telah mendustakan firman Allah swt dan sabda Rasulullah saw. Ajaran manunggaling kawula gusti merusak telah merusak ajaran tasawwuf. Ajaran ini menyimpangkan karena mengajarkan panteisme.

Menurut Kyai Hasyim, konsep penyatuan wujud yang ada pada para ulama’ sufi dahulu bukanlah panteisme bukan pula pluralisme, tapi penyatuan itu hanya dalam konteks hierarki wujud, antara wujud makhluk dan wujud Allah. Tidak dipungkiri ajaran tersebut sengaja dirusak untuk menyimpangkan ajaran tasawwuf para ulama’-ulama’ terdahulu. Mereka ini disebut orang jahil yang sok bertasawwuf.

Dalam kitab Al-Dhurar al-Muntastiro fi Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah Syekh Hasyim memberi penjelasan-penjelasan ringkas dan padat tentang konsep-konsep kewalian dan tasawwuf. Di situ, terdapat penjelasan penting. Bahwasannya, jika ada seorang mengaku wali lantas melakukan hal-hal ‘aneh’, namun mengingkari syariat maka -- menurut beliau -- dia bukan wali, tapi sedang ditipu setan.

Beliau mengatakan bahwa, siapapun diwajibkan untuk melaksanakan syariat. Tidak ada perbedaan antara seorang santri, kyai, orang awam dan wali, semuanya sama diwajibkan menjalankan perintah syariah.
Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syariat. Apabila ada yang mengingkari syariat maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan sedang tertipu setan”[11].

Penjelasan-penjelasan tersebut merupakan usaha Kyai Hasyim untuk membendung keyakinan yang mendekonstruksi akidah Ahlussunnah wal Jama’ah di kalangan jam’iyah NU secara khusus dan umat Islam di Nusantara secara umum. Bahkan menurutnya, kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut lebih berbahaya bagai kaum Muslimin daripada kekufuran lainnya. Sebab, kalangan Muslim awam mudah terkecoh dengan penampilan mereka, apalagi bagi kalangan yang awam dalam bahasa arab dan syariat.

Mereka wajib dibendung. Tapi beliau mengingatkan, bahwa nahi munkar terhadap aliran ‘nyeleneh’ tersebut harus dilakukan sesuai petunjuk syariat. Tidak boleh nahi munkar dengan cara munkar pula atau menimbulkan fitnah baru. Sehingga tidak menyudahi kemungkaran namun akan menambah kemungkaran itu sendiri, yakni menambah umat Islam makin menyimpang akidahnya. Sebagaimana dilarangnya sedekah dengan harti hasil curian. Tapi di sini bukan larangan nahi mungkar dengan ‘tangan’, namun yang dilarang adalah yang melanggar syariat. Inilah karakter Syekh Hasyim Asy’ari yang patut diteladani umat. Tegas terhadap penyimpangan Islam, teduh dalam menyikapi perbedaan furu’.

Ia salah satu tokoh nasional pejuang syari’ah. Ia adil. Kepada pengikutnya yang salah, ia tak segan membenahi, dan terhadap kelompok lain yang menyimpang, tanpa sungkan ia mengkritik. Semuanya demi Islam, demi keagungan Allah, bukan demi manusia tertentu.

Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi saw. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi[12].

Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.

Syekh Hasyim Asy’ari tidak pernah mengajarkan paham liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Fatwa-fatwanya cukup tegas. Tidak abu-abu. Beliau mengatakan bahwa agama Yahudi dan Kristen telah menyimpang. Hanya Islam lah agama wahyu yang orisinil, yang harus tetap dijaga dan dipeluk.

Sebab, liberalisasi dan pluralisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,” ujar KH Hasyim Muzadi seperti dikutip www.nuonline.com pada 7 Februari 2009.

KH. Hasyim Asy’ari sangat menentang ide penyamaan agama, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Syekh Hasyim mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.

Perjuangan Syekh Hasyim pada zaman dahulu adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Liberalisme di kalangan NU sesungguhnya telah dianggap sebagai penyimpangan yang harus diluruskan. Pada Muktamar NU di Boyolali Jawa Tengah, terbit rekomendasi dari sesepuh Kyai NU agar kepengurusan NU dan organisasi-organisasi di bawahnya dibebaskan dari orang-orang berhaluan Islam Liberal.
PWNU Jawa Timur patut menjadi teladan warga NU dalam meneruskan perjuangan Kyai Hasyim ‘Asy’ari. Pada 9 Januari 2012, melalui ketuanya, KH. Mutawakil Alallah, PWNU secara resmi menyatakan bahwa Syiah sesat. "Kami harap, aparat membubarkan kelompok Syiah. Jika dibiarkan berkembang keberadaan mereka akan menabrak konstitusi. Aliran itu hanya mengakui satu pimpinan dan imam, yakni yang masih ada hubungan keluarga dengan pimpinan sebelumnya. Hal itu bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa," terang Mutawakkil kepada metronews.com. seperti dilansir dalam berita suara-islam.com, Kyai asal Probolinggo ini menjelaskan bahwa Syiah telah melanggar HAM karena mecaci sahabat Nabi saw. Ajaran Syiah menyebut Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sebagai "perampok" posisi Sayidina Ali bin Abi Thalib. juga tidak mengakui Al Quran sebanyak 30 juz serta tidak mengakui Hadits Bukhari-Muslim, kecuali hadits dari Syiah sendiri. Mereka juga tidak mengakui imam di luar Sayidina Ali, sehingga mereka tidak menerima kepemimpinan presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan seterusnya.

Ketegasan Kyai Hasyim ‘Asy’ari semoga menjadi teladan baik bagi ulama di Indonesia. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu 'ain bagi para ulama' yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi.

Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran penyimpangan akidah. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus di-backup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah.[]

[1] Uraian ini dapat dibaca di Muhammad Najih Maimoen, Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU, (Rembang: Toko Kitab al-Anwar PP al-Anwar Sarang, 2011)
[2] http://kangdoellah.wordpress.com/2011/04/05/biografi-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari
[3] Hasyim Asy’ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, tanpa tahun), hal. 32
[4] Ibid, hal. 33-34
[5] Hasyim ‘Asy’ari, al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, dalam al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, tanpa tahun), hal. 22-23
[6] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 9
[7] Ibid, hal. 10
[8] Ibid, hal. 14. Lihat juga Keputusan Muktamar NU I di Surabaya pada 21 Oktober 1929 dalam Ahkamul Fukoha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya; Diantama dan LT NU Jawa Timur), hal. 3
[9] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 9

[10] Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy,), hal. 11

[11] Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntastiro fi Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah,(Kediri: PP. Lirboyo Kediri, tanpa tahun), hal. 4 dan 6
[12] Hasyim Asy’ari, Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat,(Jombang: Maktabah al-Turast al-Islamiy,tanpa tahun), hal. 9

Oleh: Kholili Hasib (Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya)
http://khittahnu.blogspot.com/2013/01/profil-sang-ulama-besar-kyai-h-hasyim.html
Read More »

KH Abdul Ghoni

Semenjak kecil, almarhum KH Abdul Ghoni gemar mengembara untuk menimba ilmu di berbagai pesantren di tanah Jawa. Riwayat pendidikannya dimulai di madrasah diniyyah ibtida’iyyah Tegal Sari Sala.

Kemudian beliau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni di Madrasah Tsanawaiyyah dan Aliyyah Mamba’ul Ulum Sala, dan lulus tahun 1939. Selain pendidikan formal, beliau yang haus ilmu, memperdalam ilmu agama dengan nyantrik ke beberapa pondok pesantren. Di antaranya di Jawa Timur beliau pernah ngaji di Pesantren Termas Pacitan (tahun 1940) yang diasuh Raden Sayyid Hasan dan Kiai Hamid bin Abdullah, Pesantren Mojosari Nganjuk yang dipimpin Kiai Zainuddin, dan Pesantren Tebu Ireng Jombang. Di pesantren yang disebut terakhir tadi, Mbah Sadjadi mengkhususkan untuk mengkhatamkan kitab hadist Shohih Bukhori.


Di Jawa Tengah, ia pernah nyantri di Pesantren Lasem asuhan Mbah Kiai Ma’sum, Pesantren Watucongol Muntilan asuhan Kiai Dalhar, dan Pesantren Bustanul Usyaqil Qur’an Demak asuhan Kiai Raden Muhammad bin Mahfudz at-Tirmizi. Di pesantren ini, ia berhasil menghafalkan Al-Qur’an selama 3 tahun (1941-1944). Ia juga pernah nyantri di Serang Banten di bawah bimbingan Kiai Haji Syam’un.


Tak heran jika akhirnya Kiai Abdul Ghoni, atau yang lebih akrab disapa Mbah Sadjadi ini menjadi ulama yang sangat luas ilmunya. Ia menguasai berbagai macam keilmuan, seorang hafidul qur’an, ahli tafsir, ahli hadist, dan juga seorang ahli fiqih. Kiai Sadjadi menguasai ilmu perbandingan fiqih 4 mazhab.


Aktif berdakwah dan berorganisasi


Kiai Sadjadi sejak 1977 berada di lingkungan masjid M Tohir, Yosoroto Laweyan Solo. Dua tahun kemudian ia dipercaya untuk tinggal di masjid Yosoroto. Dan sejak itulah, para tamu dari thariqah asy-Syadziliyyah banyak yang berkunjung ke masjid. Setiap hari, puluhan orang bertamu ke Yosoroto.


Menurut cerita dari KH Adib Zain, Sekretaris Jendral JATMAN, salah satu pengganti mursyid thoriqoh asy-Syadziliyyah, usai KHR Ma’ruf Mangun Wiyoto wafat, diantaranya adalah Mbah Sadjadi yang di usia lanjutnya dikenal dengan sebutan KH Abdul Ghoni.



Ijazah Mbah Sadjadi diperoleh dari Kiai Ma’ruf dan Kiai Ahmad Abdul Haq, pengasuh Pondok pesantren Watucongol Muntilan.


Saat mengemban amanah di masjid Yosoroto, kiai yang juga dikenal sayang dengan anak-anak dan selalu berusaha shalat berjama’ah ini, mengadakan banyak kegiatan keagamaan, di antaranya adalah sema’an Al-Qur’an yang diselingi dengan penjelasan ayat yang dibaca, rutin setiap malam Rabu. Dan, khusus pada malam Rabu terakhir diselingi dengan pembacaan shalawat Burdah karya Imam Bushiri.


Mbah Sulaeman Tanon Sragen, salah satu santri Kiai Umar Al-Muayyad bercerita, ketika masih mondok di Al-Muayyad beliau sering disuruh untuk sema’an di masjid Yosoroto. Menurutnya, banyak kitab yang telah diserap dari lisan sang kiai, di antaranya tafsir Jalalain, Riyadus Shalihin dan lainnya.


Selain mengajar di Yosoroto, Kiai Sadjadi juga mengajar santri-santri Al-Muayyad. Kitab yang diajarkannya adalah tentang perbandingan madzhab “Al-Mizanul Kubro” karya Syekh Abil Mawahib bin Ahmad bin Aly al-Anshory. Sedangkan di Masjid Tegalsari Solo beliau mengajarkan Tafsir Jalalain, matan ghoyah wat taqrib dan Jawahirul Bukhori.


Tidak hanya itu, ternyata Kiai Sadjadi juga seorang dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta sejak 1947-1987. Pernah bergabung dalam Laskar Sabilillah Kota Surakarta (1946), juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kota Surakarta dari fraksi NU (1964-1965) dan menjabat mustasyar NU Kota Surakarta (1987). Sampai akhir hayat pada tahun 1987, beliau terus mengabdi untuk masyarakat.


Sabtu Pon 21 Maret 1987 bertepatan dengan 22 Rajab 1407 H sekitar pukul 19.00 WIB. Beliau pergi dalam usia 68 tahun. Kepergiannya membawa duka bagi keluarga, sahabat, para ulama dan santri-santri beliau. Kiai Sadjadi meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Chammah Sadjadi, 5 putra dan 3 putri.


Ada beberapa kesaksian menarik saat prosesi pemakaman beliau. Sebagaimana dikisahkan Ibu Nyai Hj. Baidhowi Syamsuri (istri KH Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo) dan juga KH Abdul Karim Ahmad yang menyaksikan kepergian beliau. Saat keranda beliau diangkat oleh para santri dan keluarga secara silih berganti, keranda terasa ringan.


Orang-orang yang membawa keranda Kiai Sadjadi seakan berlari-lari sambil bershalawat burdah, “Karena ringannya keranda almarhum, yang mengangkat tak bisa menahan kakinya untuk berlari.” Kata KH Abdul Karim. Menurut Kiai yang akrab disapa Gus Karim, itu merupakan pertanda bahwa almarhum sudah tidak sabar ingin bertemu Allah swt, “Para Malaikat penyambut almarhum juga sudah tak sabar menunggu pecinta shalawat itu.” []


Ajie Najmuddin, disarikan dari tulisan A. Himawan asy-Syirbany di Tabloid TAJAM Jamuro

http://harian-oftheday.blogspot.com/2013/09/tokoh-of-day-kh-mursyid-abdul-ghoni.html
Read More »

Saturday, September 28, 2013

Sekilas Perkembangan Tarekat Dan Tasawuf Di Indonsia

Sekilas Perkembangan Tarekat Dan Tasawuf Di Indonsia (Supaya Kita Paham Bahwa Ulama Ahlussunnah Adalah Kaum Sufi Sejati)

Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm.

Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran.

Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji.

Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri adalah di antara hal yang perlu kita pelajari.

Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?!

Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai –terutama akidah– ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para pendakwahnya.

• • •

Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini.

Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.

• • •

Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah.

Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.

Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut.

• • •

Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.

Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali songo di tanah Nusantara.

• • •

Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan “Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya.

Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini.

• • •Subhanallah

Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar “Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”.

Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga Rasulullah.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.

Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.

• • •

Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.

Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.

Sumber :
http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/04/26/sekilas-perkembangan-tarekat-dan-tasawuf-di-indonsia-supaya-kita-paham-bahwa-ulama-ahlussunnah-adalah-kaum-sufi-sejati/
Read More »

Adab Seorang Istri Terhadap Suami

“Dunia (hidup di dunia ini) adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia ini adalah istri yang baik (sholehah).” (Shahih Muslim, Kitab 14, Bab 17, Hadits No. 1467).
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh seorang istri yang sholehah di dalam keluarga, termasuk pergaulannya terhadap suami. Beberapa hal tersebut adalah:

Menjadi seorang istri yang baik adalah sedemikian penting sehingga dari titik pandang Islam, seorang istri yang baik dipandang sebagai sesuatu yang paling baik di dunia.
Peranan perempuan dalam rumah tangga sangat penting. Sesungguhnyalah ia merupakan faktor penentu.
Istri harus melakukan yang terbaik untuk menjaga agar suaminya tetap senang kepadanya.
Istri ideal harus memadukan tiga hal : Ia dapat membahagiakan suaminya bila suami melihatnya, dengan cara merawat diri agar selalu tampil cantik menarik di depan suaminya. Ia harus mentaatinya jika ia menyuruhnya; Ia tidak menentang keinginan suaminya baik menyangkut diri sang istri atau harta bendanya dengan melakukan sesuatu yang dicela olehnya.
Menolak tidur bersama suaminya ketika ia mengajaknya tidur adalah merupakan satu kesalahan besar yang harus dihindarkan.
Ketika sang istri berniat untuk berpuasa sunat, ia boleh melakukannya hanya setelah ada izin dari suaminya. Jika ia tidak memperoleh izin suaminya, maka suami berhak untuk membuatnya membatalkan puasa yang sedang dijalaninya. Alasan untuk ini adalah bahwa mungkin ia berkeinginan untuk melakukan hubungan seksual dengannya, yang tentu ia tidak bisa melakukannya jika sang istri berpuasa atas pemberian izin darinya.
Adalah kewajiban seorang istri untuk tidak mengizinkan seseorang, yang tidak diinginkan suaminya, untuk masuk ke dalam rumah tanpa izin darinya.
Istri tidak boleh memberikan sesuatu yang mungkin hak milik suaminya tanpa perkenannya.
Seorang istri tidak patut meminta dari suaminya uang tambahan atau apa yang ia tidak miliki atau tidak mampu memberikannya, dan ia harus menunjukkan rasa terima kasih atas apapun yang ia berikan.
Seorang istri harus mengakui bantuan apapun yang diberikan suaminya di dalam rumah.
Istri yang baik adalah ia yang taat pada perintah suaminya jika ia memintanya melakukan sesuatu.
Pada saat suami pulang ke rumah, istri harus menyambutnya dengan ramah dan menemuinya dengan penampilan yang baik dan cantik.
Istri harus berusaha untuk tidak mengabaikan kebutuhan-kebutuhan suaminya atau melalaikan tuntutan-tuntutannya. Semakin seorang istri memperhatikan suaminya, maka semakin besar pula cintanya kepadanya. Kebanyakan para suami – secara faktual, memandang perhatian sang istri pada mereka sebagai satu ekspresi dari cintanya.
Seorang istri harus berhati-hati untuk tidak menyampaikan pada suaminya, pada saat ia pulang, tentang persoalan-persoalan keluarga, atau mengadu padanya tentang anak-anak, dan lain-lain. Sebaliknya ia harus berupaya menciptakan suasana damai yang justru dibutuhkan suaminya setelah melewati hari-hari yang panjang dan melelahkan.
Seorang istri sebaiknya mendiskusikan masalah-masalah keluarga dengan suaminya pada saat-saat yang tepat.
Bagi seorang istri yang menghormati kerabat dekat suaminya dan memperlakukan mereka dengan ramah adalah – sesungguhnya – merupakan tanda penghargaan dan hormat bagi suaminya.
Seringkali meninggalkan rumah adalah suatu kebiasaan buruk bagi perempuan. Ia juga tidak boleh meninggalkan rumah jika suaminya keberatan ia berbuat demikian.
Istri tidak boleh bercengkrama dengan laki-laki asing tanpa mengindahkan keberatan suaminya.
Istri harus penuh perhatian terhadap suaminya pada saat ia berbicara.
Seorang istri tidak berhak meminjamkan sesuatu dari harta suaminya yang bertentangan dengan keinginannya. Tetapi ia boleh meminjamkan hak miliknya sendiri.
Menuntut perceraian dari suami tanpa alasan yang kuat adalah dilarang.
Jika seorang teman suami bertanya tentang dia, ia boleh menjawabnya tetapi tanpa harus terlibat dalam percakapan panjang lebar.
Terlalu banyak berargumentasi dan berdebat dengan suami, menghitung-hitung kesalahan suami, sebenarnya hanya akan menumbuhkan kebencian dan memperburuk hubungan.
Memelihara rumah dan menjalankan tugas-tugas rumah tangga adalah menjadi tanggung jawab istri. Oleh karena itu ia harus mengerjakan tugas-tugas merawat rumah, perabot rumah tangga dan lain-lain dan juga harus hemat.
Seorang istri tidak boleh memberi sedekah dari harta suaminya tanpa seizinnya.
Berbicara tentang atau menceritakan pada orang lain mengenai masalah-masalah seksual antara suami dan istri adalah merupakan dosa menurut Islam.
Seorang istri tidak perlu merasa takut untuk menyatakan cinta dan kasih sayangnya terhadap suaminya. Hal itu akan menyenangkan hatinya dan membuatnya lebih dekat pada keluarganya; selain itu jika ia tidak menemukan seorang perempuan yang menarik dan mencintainya di rumah, ia mungkin sekali akan terdorong untuk mencari hiburan dimana saja, di luar rumah.
Kepemimpinan dalam keluarga adalah menjadi hak suami. Bagi perempuan yang menuntut persamaan yang penuh dan sempurna dengan suaminya, akan berakibat pada adanya dua pemimpin dalam keluarga dan ini tidak dikenal dalam Islam. Meskipun begitu suami tidak boleh bertindak dengan cara otokratis dan menyalahgunakan posisinya. Ia harus memperlihatkan cinta dan kasih sayangnya dan memperlakukan istrinya sebagai partner hidup.

Ketaatan Istri Terhadap Suami

Dalil-dalil menunjukkan bahwa seorang istri wajib taat kepada suaminya. Diantaranya firman Allah, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah : 228)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa : 34)
Diriwayatkan dari Abu Dzar, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, melainkan pasangan suaminya dari bidadari di surga akan menyatakan jangan kau sakiti dia, semoga Allah memerangimu (kata celaan), karena dia berada disisimu sebagai pendatang sementara yang hampir saja dia memisahkan diri darimu dan datang kepada kami (bidadari surga)” (HR Tarmidzi dan Ibnu Hibban), dihasankan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Dalam Hadits Bibi Husain, “Aku datang kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pada sebagian kebutuhan, Rasulullah bertanya apakah engkau mempunyai suami ?, wanita itu menjawab “Iya”. Rasul bertanya, “Bagaimana keadaanmu terhadapnya ?”, “Aku selalu menaatinya dan melayaninya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu melakukannya”, “Maka lihatlah dimana keberadaanmu di sisinya, karena sesungguhnya suamimu adalah surgamu dan nerakamu” (HR An-Nasai, Imam Akhmad). Dinyatakan bersanak jayid oleh Syaikh Al-Albani menukil pernyataan An-Nasai dan Imam Akhmad.
Termasuk hak suami atas sang istri adalah sang istri merawat rumah suaminya, dan tidak keluar dari rumah tanpa seizin suami. Apabila sang suami tidak ada dan terdapat kebutuhan mendesak yang harus segera dilaksanakan, maka sang istri sebelumnya harus menimbang apakah suami akan mengizinkannya atau tidak, apabila kemungkinan sang suami mengizinkannya, maka setelah sang suami kembali, sang istri menyampaikan berita yang menenangkan suami.
Akan tetapi kalau mungkin sang suami tidak mengizinkan, atau sang istri ragu mendapat izin atau tidak maka pada hukum asalnya sang istri tidak boleh keluar. Termasuk pula hak suami atas sang istri adalah sang istri mengerjakan semua perkerjaan rumah sendiri, tidak seharusnya sang istri meminta sang suami untuk mendatangkan pembantu yang bisa membawa akibat buruk bagi suami atau anak-anaknya. Berkata Rasulullah kepada Aisyah bahwa kadar pahalanya sesuai dengan keletihannya (dalam mengurusi pekerjaan rumah).

http://fiqihwanita-rifa.blogspot.com/2011/12/adab-serang-istri-terhadap-suami.html
Read More »

Saturday, September 7, 2013

Keutamaan Shalat Jamaah

www.aswajanu.net.Khutbah Jumat tentang Keutamaan Shalat Jamaah




فضل صلاة الجماعة

إنّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونستهديه ونشكره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهد الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليًا مرشدا وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ولا مثيل له ولا ضد ولا ند له وأشهد أنّ سيدنا وحبيبنا وعظيمنا وقائدنا وقرة أعيننا محمدا عبده ورسوله وصفيّه وحبيبه صلى الله عليه وعلى كل رسول أرسله.

أما بعد أيّها المسلمون، اتقوا الله حق تقاته في السر والعلن ، واعلموا أنه جاءت الأدلّة الشرعيةُ الصحيحة الصريحة ساطعةً ناصعة متكاثرةً متضافرة على فضل صلاة الجماعة حَضرًا وسفرًا، يقول عز وجل : ( وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلوٰةَ وَآتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُواْ مَعَ ٱلرَّاكِعِينَ ) سورة البقرة/43 .

عباد الله، إن شأن صلاة الجماعة في الإسلام عظيم ، ومكانتها عند الله عالية، ولذلك شرع الله بناء المساجد لها ، إن صلاة الجماعة فيها إعلان ذكر الله في بيوته التي أذن أن ترفع ويذكر فيها اسمه، إن صلاة المسلم مع الجماعة في المساجد يجعله في عداد الرجال الذين مدحهم الله ووعدهم بجزيل الثواب في قوله تعالى : ( فِى بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُ يُسَبّحُ لَهُ فِيهَا بِٱلْغُدُوّ وَٱلاْصَال ِ رِجَالٌ لاَّ تُلْهِيهِمْ تِجَـٰرَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَاء ٱلزَّكَـوٰةِ يَخَـٰفُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلاْبْصَـٰرُ لِيَجْزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُواْ وَيَزِيدَهُم مّن فَضْلِهِ وَٱللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ) سوة النور/36-37-38 .

أمّة الإسلام ، إن صلاة المسلم مع الجماعة تفضل على صلاته وحده بسبع وعشرين درجة، فأعظم به من فضل ، والخُطا التي يمشيها المسلم لصلاة الجماعة تحتسب له عند الله أجراً وثواباً فلا يخطو خطوة إلا رُفعت له بها درجة وحُطت عنه بها سيئة كما ثبت في الصحيحين عن النبي صلى الله عليه وسلم " صَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لا يَنْهَزُهُ (لا تنهضه وتقيمه) إِلا الصَّلاةُ، لا يُرِيدُ إِلا الصَّلاةَ، فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلاةِ مَا كَانَتِ الصَّلاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ" رواه مسلم.

وقال صلى الله عليه وسلم أَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ، فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ " رواه مسلم .

وقال صلى الله عليه وسلم : " مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْل، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ " رواه مسلم.وقال النبي صلى الله عليه وسلم: " بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ " رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه والطبراني والحاكم وغيرهم .

إخوة الإيمان ، إن صلاة الجماعة فيها تعاون على البر والتقوى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر؛ يقف المسلمون فيها صفًا واحدًا خلف إمام واحد يناجون الله ويدعونه كالبنيان المرصوص يشد بعضه بعضًا، فتظهر قوة المسلمين واتحادهم، وفي صلاة الجماعة اجتماع كلمة المسلمين وائتلاف قلوبهم وتعارفهم وتفقد بعضهم لأحوال بعض، وفيها التعاطف والتراحم، ودفع الكبر والتعاظم، وفيها تقوية الأخوة الدينية، فيقف الكبير إلى جانب الصغير، والغني إلى جانب الفقير، والملك والقوي إلى جانب الضعيف، لا فضل لأحد على أحد إلا بالتقوى، مما به تظهر عدالة الإسلام، وحاجة الخلق إلى الخالق الملك العلام.ونقول لمن ضيع صلاة الجماعة : يا من ضيعت الصلاة مع الجماعة، ورضيت بالتفريط والإضاعة، لقد خسرت ورب الكعبة كل هذه الفضائل وفاتتك كل هذه الخيرات، أيّها المتخلِّف في بيته عن أداء الصلاةِ جماعةً في بيوت الله، اسمع لقولِ النبيّ صلى الله عليه و سلم: " من سمع المنادي فلم يمنعه من اتِّباعه عذرٌ ، قالوا: وما العذر؟.قال: "خوفٌ أو مرضٌ لم تقبل منه الصَّلاة الَّتي صلّى " أخرجه أبو داود وغيره .معناه من سمع الأذان ثم تخلف عن صلاة الجماعة المشروعة بلا عذر ليس له ثواب بصلاته منفردا معَ صحتها (وليس معناه لم تُقبلْ لم تصِحَّ)

صلاة الجماعة تؤخذ منها الدروس الإيمانية، وتسمع فيها الآيات القرءانية، فيتعلم بها الجاهل ويتذكر فيها الغافل ويتوب المذنب، وتخشع القلوب (وتقرِّبُ من علام الغيوب) . صلاة المسلم في جماعة أقرب إلى الخشوع وحضور القلب والطمأنينة، وإن الإنسان ليجد الفارق العظيم بين ما إذا صلى وحده وإذا صلى مع الجماعة.وتعظُم المصيبة حين يكون المتخلِّف عن صلاةِ الجماعة ممّن يُقتَدَى بعمله ويُتأسَّى بفِعله، ولا عذر له ، وهي أعظمُ حين يكون هذا المتخلِّف ممّن ينتسِب إلى العلم وأهله ، ولا عذر له .

يا عبدَ الله، يا مَن يتوَانى ويتثاقل ويتساهل ويتشاغَل، لقد فاتك الخير الكثيرُ والأجر الوفير، فإن من تطهّرَ في بيته ثمّ مضى إلى بيت من بيوت الله ليقضيَ فريضةً من فرائض الله كانت خطواته إحداها تحُطّ خطيئة، والأخرى ترفع درجة، وإِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلاَةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشىً فَأَبْعَدُهُمْ.يا عبد الله ، حافظ على الصلاة مع الجماعة، وإن شق عليك مخالفة هواك ورأيت كثيرًا من الناس في غفلة وهم معرضون فَٱصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَلاَ يَسْتَخِفَّنَّكَ ٱلَّذِينَ لاَ يُوقِنُونَ سورة الروم/60 . أيّها المسلمون، لقد كثُر المتخلِّفون في زمانِنا هذا عن صلاةِ الجماعة في المساجد، رجالٌ قادرون أقوياء يسمَعون النداءَ صباحَ مساء، فلا يجيبون ولا هم يذّكَّرون. ألسنتُهم لاغية، وقلوبهم لاهِية، رانَ عليها كسبُها، شُغِلوا عن الصلاة بتثمير كسبهم ولهوهم ولعِبهم، ولو كانوا يجِدون من الصلاة في المساجد كسبًا دنيويًّا ولو حقيرًا دنِيًّا لرأيتهم إليها مسرعين ولندائها مذعِنين مُهطِعين .

أيّها المسلمون، تلك أدلّةٌ ونصوص لاح الحقُّ في أكنافِها وظهر الهدَى في بيانها، ولقد أفصحَت الرسُل لولا صَمَم القلوب، ووضحتِ السُّبُل لولا كدَر الذنوب.نسأل الله تعالى أن يعيننا على أداء صلاة الجماعة . هذا وأستغفرُ اللهَ لي ولكُم

الخطبة الثانية :

الحمد لله على إحسانه، والشكرُ له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحدَه لا شريك له تعظيمًا لشأنه، وأشهد أنّ محمدًا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، صلى الله عليه وعلى ءاله وأصحابه وإخوانه من النبيين والمرسلين، وسلم تسليمًا كثيرًا.

أما بعد: فيا أيها المسلمون، اتقوا الله وأطيعوه، وراقبوه ولا تعصوه، يَـٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَكُونُواْ مَعَ ٱلصَّـٰدِقِينَ التوبة:119.

أيّها المسلمون، اتقوا الله في أبنائكم قرّةِ عيونكم وتتابُع نسْلكم وذِكرِكم، فإنهم أمانةٌ في أعناقكم. مروهم بالمحافظة على الصّلوات وحضور الجُمَع والجماعات، رغِّبوهم ورهّبوهم، وشجّعوهم بالحوافز والجوائز، نشِّئوهم على حبِّ الآخرة، وكونوا لهم قدوةً صالحة، وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِٱلصَّلوٰةِ وَٱصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَٱلْعَـٰقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ طه:132،

يقول رسول الهدى ( مُروا أبناءَكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين، واضربوهم عليها وهم أبناءُ عشر سنين ) أخرجه أحمد . واحذَروا ما يصدّهم عن ذكر الله وعن الصلاة من سائر الملهِيات والمغرِيات، وألحّوا على الله بالدعاء أن يُصلحَ أولادكم . واعلموا بأن الله تعالى أمركم بأمر عظيم أمركم ....... اللهمّ أقِرَّ عيوننا وأسعِد قلوبَنا وأبهج نفوسَنا بصلاح شبابنا وفتياتنا، اللهم اجعلنا وذريّاتنا وشبابنا وفتياتنا من مقيمي الصلاة، اللهمّ وتقبل دعاءنا، اللهم مُنّ علينا بالأمن في البلاد والصلاح في الذريّة والأولاد والفوزِ يومَ المعاد، برحمتك يا أرحم الراحمين .

اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات ....

Read More »

Pentingnya Melaksanakan Sholat

Khutbah Jumat tentang Pentingnya Melaksanakan Sholat

أهَمِّيَّـة الصّـلاةِ

إنَّ الحمدَ لله نحمَدُهُ ونستعينُهُ ونستغفِرُهُ ونستهدِيهِ ونشكرُهُ ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شرورِ أنفسِنا ومِنْ سيّئاتِ أعمالِنا، مَنْ يهدِ اللهُ فهوَ المهتَدِ، ومنْ يُضْلِلْ فلَنْ تجدَ لهُ وليًا مُرشِدًا، وأشهدُ أنْ لا إلهَ إلا اللهُ وحدَهُ لا شريكَ لهُ ، ولا مثيلَ لهُ ولا ضِدَّ ولا نِدَّ لهُ ، وأشهدُ أنّ سيّدَنا وحبيبَنا وعظيمَنا وقائدَنا وقُرَّةَ أعيُنِنا محمّدًا عبدُهُ ورسولُهُ وصفيُّهُ وحبيبُهُ، صلّى اللهُ عليهِ وعلى كلِّ رسولٍ أرسلَهُ.

أمّا بعدُ، فيا أيّها المسلمونَ، اتَّقوا الله فإنّ تقواه أفضلُ مكتَسَبٍ، {يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ} سورة ءال عمران/102

أيّها المسلمون، لقد أنعَم الله عليكم بِنِعَمٍ سابغة وآلاء بالغة، نِعَمٍ ترفُلون في أعطافها، ومننٍ أُسدِلَتْ عليكم جلابيبُها. وإنّ أعظمَ نعمةٍ وأكبرَ مِنّة نعمةُ الإسلام والإيمان، يقول تبارك وتعالى: { يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُواْ قُل لاَّ تَمُنُّواْ عَلَىَّ إِسْلَـٰمَكُمْ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَداكُمْ لِلإِيمَـٰنِ إِنُ كُنتُمْ صَـٰدِقِينَ} سورة الحجرات/16

فاحمَدوا الله كثيرًا على ما أولاكم وأعطاكم وما إليه هداكم، حيث جعلكم من خير أمّةٍ أخرِجت للناس، وهداكم لمعالم هذا الدينِ العظيمِ الذي ليس به التِباس، ألا وإنَّ من أظهرِ معالمِه وأعظمِ شعائره وأنفع ذخائره الصلاةَ ثانيةَ أعظم أمور الإسلام ودعائمه العظام. هي بعد الشهادتين ءاكَدُ مفروضٍ وأعظم مَعْرُوض وأجلُّ طاعةٍ وأرجى بضاعة، فَمَنْ حَفِظَهَا وَحَافَظَ عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ، وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ، يقول النبيّ صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ: " رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلاةُ" . أخرجه أحمد والنسائي والترمذي وغيرهم وقال: حديث حسن صحيح.

جعلها الله قرّةً للعيون ومفزعًا للمحزون، فكان رسول الهدى صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ إذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلّى، ( أي إذا نابَهُ وألَمَّ به أمر شديد صلى) أخرجه أحمد، وأبو داود. ويقول عليه الصلاة والسلام: " وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاةِ " أخرجه أحمد في مسنده والنسائي والبيهقي في السنن وصححه الحاكم في المستدرك وغيرهم. وكان ينادي: " يَا بِلالُ، أَرِحْنَا بِالصَّلاةِ ". أخرجه أحمد وغيره. فكانتْ سرورَهُ وهناءَةَ قلبه وسعادةَ فؤادِه. بأبي هو وأمّي صلوات الله وسلامه عليه. هي أحسنُ ما قصده المرءُ في كلّ مهِمّ، وأولى ما قام به عند كلِّ خَطْبٍ مُدْلَهِمٍّ، خضوعٌ وخشوع، وافتقار واضطرار، ودعاءٌ وثناء، وتحميد وتمجيد، وتذلُّل لله العليِّ الحميد.

أيها المسلمون، الصلاةُ هي أكبرُ وسائل حِفظِ الأمنِ والقضاءِ على الجريمةِ، وأنجعُ وسائلِ التربيةِ على العِفّةِ والفضيلةِ، {وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَاء وَٱلْمُنْكَرِ } سورة العنكبوت/ 45

هي سرُّ النجاح وأصلُ الفلاح، وأَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ الْعَبْدُ به يومَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ. المحافظةُ عليها عنوانُ الصِدقِ والإيمانِ، والتهاونُ بها علامةُ الخذلانِ والخُسرانِ . طريقُها معلومٌ وسبيلُها مرسومٌ، مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلا بُرْهَانٌ وَلا نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ لا لأنهُ كافرٌ بل لِعُظْمِ ذنبِهِ. من حافظ على هذه الصلواتِ الخمس فأَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ، فَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَسُجُودَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ. نفحاتٌ ورَحَماتٌ، وهِباتٌ وبركاتٌ، بها تَكَفَّرُ صغائرُ السيئاتِ وترفَعُ الدرجاتُ وتضاعَفُ الحسناتُ، يقول رسول الهدى صلّى الله عليهِ وسلّمَ: "أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْراً بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ، هَلْ يَبْقَىَ مِنْ دَرَنِهِ ( وسخه) شَىءٌ ؟" قَالُوا: لاَ يَبْقَىَ مِنْ دَرَنِهِ شَىءٌ. قَالَ: "فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، يَمْحُو الله بِهِنَّ الْخَطَايَا" (أي الذنوب الصغيرة) متفق عليه.

عبادةٌ تشرِقُ بالأملِ في لُجّة الظلُمات، وتُنْقِذُ المتردّي في دَربِ الضلالات، وتأخذ بيد البائِس من قَعر بؤسه واليائس من دَرَكِ يأسِه إلى طريق النجاة والحياة، {وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّـيّئَـٰتِ ذٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذكِرِينَ} سورة هود/114

أيّها المسلمون، إنّ ممّا يندَى له الجبين ويجعل القلبَ مكدَّرا حزينًا ما فشا بين كثيرٍ من المسلمين من سوءِ صنيع وتفريطٍ وتضييع لهذه الصلاةِ العظيمة، فمنهم التاركُ لها بالكلّيّة، ومنهم من يصلّي بعضًا ويترك البقيّة. لقد خفّ في هذا الزمانِ ميزانها عند كثير من الناس وعظُم هُجْرانُها وقلّ أهلُها وكثُر مهمِلُها، يقول الزهريّ رحمه الله تعالى: " دَخَلْتُ عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خادِمِ رسولِ اللهِ بِدِمَشْقَ وَهُوَ يَبْكِي، فَقُلْتُ: مَا يُبْكِيكَ ؟ فذكرَ أنّ سببَ بكائه أنِّ هذه الصلاةَ قدْ ضُيِّعَتْ ". أخرجه البخاريُّ.

أيّها المسلمون، إنَّ من أكبرِ الكبائرِ وأبْيَنِ الجرائرِ تركَ الصلاة تعمُّدًا وإخراجَها عن وقتها كسَلاً وتهاوُنًا. (الجرائر: جمعَ جريرَةٍ ، والجريرُ هي الذنبُ والجِنايةُ يَجنيها الرّجلُ وقد جَرَّ على نفسِهِ وغيرِهِ جريرَةً يجُرُّها جَرًّا أيْ جنى عليهم جِنايةً ) [لسان العرب] . يقول النبيُ صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ: " بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ " أخرجه مسلم. أي تارك الصلاة قريب من الكفر لعظم ذنبه.

أيها المسلمون، إنّ التفريطَ في أمر الصلاة من أعظم أسبابِ البلاء والشَّقاءِ، ضَنكٌ دنيويّ وعذابٌ بَرزخيٌّ وعِقابٌ أخْرَوِيّ، { فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَـوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقُونَ غَيًّا} مريم/59

فيا عبد الله، كيفَ تهون عليك صلاتُك وأنت تقرأ الوعيدَ الشديدَ في قول الله عز وجل: {فَوَيْلٌ لّلْمُصَلّينَ * ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَـٰتِهِمْ سَاهُونَ} . سورة الماعون/4 - 5

أيّها المسلمون، الصلاةُ عبادةٌ عُظمى، لا تسقُط عن مكلَّف بالغ عاقل بحال، ولو في حال الفزع والقتال، ولو في حال المرض والإِعْياء، ولو في حال السفر، ما عدا الحائض والنفساء، يقول تبارك وتعالى: { حَـٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوٰتِ وٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَـٰنِتِينَ * فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنتُمْ فَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ } سورة البقرة/ 238 – 239

أقيموا الصلاةَ لوقتِها، وأَسْبِغوا لها وضوءَها، وأتمّوا لها قيامَها وخشوعَها وركوعَها وسجودَها، تنالوا ثمرتَها وبركتَها وقوّتَها وراحتَها.

هذا وأستغفرُ اللهَ لي ولكُم

Read More »