Sunday, March 21, 2010

Belajar Tashawuf dengan Thoriqoh (Bag.4)

Dasar sikap jama’ah
Setiap perkumpulan atau jama’ah pasti mempunyai sikap dasar yang harus dimengerti oleh anggotanya. Perlunya agar ketika mereka melangkah, senantiasa tetap dalam frame asas yang dianut. Jika saja suatu organisasi tidak mempunyai tata laksana yang jelas maka besar kemungkinan akan timbul sikap keterlepasan kontrol pada perilaku beberapa individunya. Untuk itu dibawah ini kami sampaikan beberapa dasar sikap dari jama’ah thariqah As-Syadziliyyah.

1. Iltizamut Taqwa Bi Tarkil Muharramat (Menekankan ketakwaan dengan cara meninggalkan perkara – perkara yang dilarang oleh syar’i).
Jama’ah As-Syadziliyyah harus dapat menjaga kewajiban – kewajiban syar’i dengan cara jangan sampai melakukan perbuatan yang melebihi batas serta dapat merusak ibadahnya sendiri. Misalnya saja dengan cara tidak melakukan tindakan suka memaki orang lain serta dengki terhadap selainnya. Karena dua perbuatan itu bersifat merusak. Dan kedua perbuatan tersebut juga jelas – jelas dilarang oleh syar’i. Sikapnya senantiasa ingin terhadap kesungguhan bersama Allah Swt dalam setiap perbuatannya. Syadziliyyin harus mementingkan lebih banyak hal – hal yang tidak dianggap jelek dari sisi kemanusiaan daripada hal – hal yang dianggap negative. Karena langkah yang demkian bagi As-Syadziliyyah tidak akan dapat dilakukan oleh seseorang terkecuali orang tersebut memiliki rasa khaufullah (takut terhadap Allah Swt).
2. Al-‘Amal Bil Asbab (Bekerja dengan beberapa sebab).
Memiliki pekerjaan jelas yang dapat menyempurnakan ketakwaan serta melanggengkannya. Itulah maksudnya. Jadi pekerjaan – pekerjaan yang nampak jelas kesyubhatannya harus dijauhi. Karena pekerjaan yang demikian (nampak kesyubhatannya) tidak akan dapat membawa serta menambah pada derajat ketakwaan seseorang.
3. At-Tayaqudz Limawaridil Asyyai Wa Mashadiriha (Bangkit untuk menunjukkan jalannya berbagai urusan serta sumber – sumbernya).
Syadziliyin harus hidup proaktif terhadap berbagai persoalan hidup. Karena Allah Swt tidak menyukai sikap Amqat (Klemah – klemeh)
4. Suhbatu Ahlil Ma’rifah Wal ‘Ilmi (Bersahabat dengan ahli ma’rifat dan ahli ilmu).
Ahlul Ma’rifat dan Ahlul ‘Ilmi menurut pandangan As-Syadziliyyah dapat melihat beberapa hal yang menjadi kekurangan kita. Dan mereka juga dapat menunjukkan kita kepada jalan menuju Allah Swt yang benar.
5. Mujanabatu Ahlil Ghirrah Wal Aghraz (Menjauhi orang – orang yang suka pada kelengahan dan pembangkangan).
Jama’ah As-Syadziliyah tidak diperkenankan bergaul akrab dengan orang – orang yang tidak mendorong bangkitnya semangat baik tindakan atau ucapan – ucapannya kepada jalan Allah Swt. Pergaulan itu dapat membawa karakter seseorang. Jika salah dalam pergaulan maka dapat saja seseorang berada dalam karakter yang salah.
6. Iltizamul Adab (Menekankan budi pekerti yang baik)
Tashawwuf semuanya adalah adab. Setiap waktu itu ada adabnya. Dan setiap hal itu juga mempunyai adab. Maka barangsiapa yang membiasakan diri dengan adab, dia akan sampai pada derajat Rijal.
7. I’thaul Auqat Haqqaha (Menggunakan waktu pada tempatnya)
Pemanfaatan waktu bagi As-Syadziliyyah dianggap amat penting. Karena waktu itu berjalan. Dan jika telah berlalu maka akan menjadi sulit untuk mengejarnya. As-Syadiliyah tidak respect terhadap perilaku mensia – siakan waktu.
8. Tarkut Takalluf Fil Harakat (Meninggalkan pemaksaan diri dalam setiap gerakan)
Janganlah berlebih – lebihan dalam setiap urusan, sehingga sampai memaksakan diri dengan melebihi kemampuan. Karena takalluf itu dapat membawa hasil yang kurang baik.

Demikianlah sekilas uraian belajar tasawuf dengan thariqah. Sebenarnya masih banyak hal yang perlu diketahui. Akan tetapi karena keterbatasan waktu dan ruang maka untuk sementara kita sudahi dahulu sampai disini. Insyaallah pada lain kesempatan akan kita sambung dengan pembahasan sub – sub materi dalam thariqah.

Penulis : Afifuddin bin Al-Hasani, Pengasuh Thariqah As-Syadziliyyah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu
Read More »

Belajar Tashawuf dengan Thoriqoh (Bag.3)

Asas thariqah
Setiap thariqah pasti mempunyai asas. Bagi siapa saja yang hendak masuk suatu jama’ah thariqah maka ada beberapa hal yang harus diketahui dahulu sebelum membulatkan hati untuk mengikuti jama’ah tersebut. Jangan sampai hanya karena iming – iming “sorga” kemudian terlena masuk dalam taklid buta. Diantara hal – hal yang perlu diketahui ialah asas dari thariqah tersebut. Berikut ini adalah asas thariqah As-Syadziliyyah yang penulis ketahui.
1. Al-Qur’an & Al-Hadits
Bagi jama’ah thariqah As-Syadziliyah seluruh ibadah yang dijalani harus dikembalikan kedalam koridor Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika menemukan pertentangan dengan nash qath’i keduanya maka jama’ah thariqah As-Syadziliyah wajib kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dan meninggalkan hal – hal yang bertentangan dengan keduanya. Diambil contoh sederhana hal yang mungkin dapat terjadi pada diri seorang salik yang kuat dalam berdzikir kemudian dirinya sampai berhasil mencapai maratib (tataran) ru’yatus shadiqah. Ketika si dzakir ini prihatin melihat ada seorang ikhwan yang sakit, kemudian ia memperoleh ru’yah bahwa sakit ikhwannya itu dapat disembuhkan apabila si ikhwan berwudhu dengan air comberan, maka hal tersebut wajib untuk ditinggalkan. Karena apabila hal tersebut dilaksanakan sekalipun mungkin benar dapat tercapai kesembuhan namun perbuatan berwudhu dengan air najis (air comberan) itu adalah hal yang terlarang menurut Al-Qur’an atau Al-Hadits.

2. Tarkul Ma’ashi (Meninggalkan Maksiat)
Dalam kesehariannya, jama’ah As_Syadziliyyah harus meninggalkan perbuatan – perbuatan maksiat. Karena perbuatan maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh syar’i.

3. Fi’lul Wajibat (Mengerjakan kewajiban – kewajiban syari’at)
Menurut thariqah As_Syadziliyyah, jama’ah wajib mengerjakan kewajiban – kewajiban syari’at. Untuk persoalan tehnis fiqh, Syadziliyah tidak mengharuskan bermadzhab pada satu madzhab fiqh tertentu. Namun yang terbaik bagi para murid yang awam sebaiknya mengikuti madzhab fiqh dari guru mursyidnya waktu itu. Dan bagi As-Syadziliyyah tidak menutup kemungkinan dalam setiap generasi madzhab fiqh dari guru mursyidnya akan dapat berbeda dari guru mursyid yang sebelumnya. Hal ini karena As-Syadziliyyah memandang madzhab fiqh itu adalah tehnis ‘ubudiyah bukan ushul ‘ubudiyah. Contoh kecil, jama’ah As-Syadziliyah wajib mengerjakan shalat wajib 5 waktu. Dalam hal ini As-Syadziliyah tidak mempersoalkan apakah jama’ahnya mengikuti madzhab fiqh yang memakai qunut diwaktu shalat subuh atau tidak memakai qunut. Yang penting adalah melaksanakan shalat-nya bukan qunut atau tidaknya.

4. Itaba’us Sunanil Ma’tsurah (Mengikuti Sunnah – sunnah yang ma’tsur)
Sunnah – sunnah Rasulullah Saw itu sangat banyak. Yang meriwayatkan juga banyak. Jama’ah As-Syadziliyah diminta untuk mengutamakan mengikuti sunnah – sunnah Rasulullah Saw yang jelas ada nash haditsnya agar supaya tidak terpeleset dari rel syari’at.

5. Al Jam’u ma’allah Wa ‘adamit Tafarruqah (Senantiasa merasa bersama Allah dan tidak pernah terpisah dari-Nya)
Aplikasi dari asas yang ke-5 ini dalam thariqah As-Syadziliyyah dinamakan istihdhar, yaitu membiasakan dzikir dan fikir dalam setiap keadaan dan situasi apapun. Syadziliyyin juga harus meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan gerak dan diamnya, ucapan serta keinginannya. Dan apapun yang menimpa pada Syadziliyyin baik berupa kebaikan atau kejelekan, manfaat atau madharat, semuanya adalah ciptaan dan takdir Allah Swt.

Oleh karenanya dalam tulisan terdahulu telah kita singgung bahwa wirdul ‘am yang diarahkan ‘adad-nya oleh seorang mursyid As-Syadziliyah pada permulaan murid masuk kedalam jama’ah sifatnya adalah untuk melatih murid agar dapat terbiasa dulu dengan dzikir sehingga murid dapat mencapai tujuan takhalli, tahalli dan tajalli secara steb by step. Adapun porsinya dalam As-Syadziliyah biasanya masing – masing mursyid memberikan petunjuknya secara berbeda – beda. Karena hal ini amat terkait dengan pandangan mursyid terhadap muridnya dan keadaan murid itu sendiri.

Bersambung ke Bag IV (selesai)
Read More »

Belajar Tashawuf dengan Thoriqoh (Bag.2)

Peran penting Imam Thariqah dan Mursyid
Yang dijadikan imam (baca ; panutan) dalam setiap manhaj dzikir adalah seseorang waliyullah yang benar – benar tabahur dalam ilmu syari’at serta hakekat, sebagaimana kedudukan para mujtahid dalam ilmu fiqih. Keadaan ini tentu untuk menjaga agar para muttabi’ (pengikut) tidak salah jalan dalam melakukan ibadah. Perbedaan istinbat (metode hukum) dalam setiap madzhab fiqih jelas akan menghasilkan pula suatu hasil hukum yang berbeda.
Namun itu semua tak mengapa sepanjang dalam koridor Al-Qur’an dan Al-Hadits. Contoh, madzhab Syafi’i yang mengutamakan ijma’ sahabiy sebelum qias, akan berbeda pendapatnya dalam menetapkan basmalahnya Al-Fatihah dalam shalat apakah harus dibaca jahr atau tidak, dengan pendapat madzhab Hanbali yang lebih mendahulukun qias. Syafi’iyyah dan yang sependapat dengannya mengharuskan bacaan jahr sementara Hanbaliyah dan yang sependapat dengannya mengharuskan bacaan sir atau tidak membacanya sama sekali. Perbedaan yang seperti ini terjadi pula dalam dunia tashawuf. Interpretasi zuhud misalnya. Bagi para imam yang memakai manhaj ihsan-nya itu “An ta’budallah Ka_annaka Tarahu” mengartikan zuhud dengan mengosongkan hati dari selain Allah. Sedangkan bagi para imam yang memakai manhaj ihsan-nya “Fainnahu Yaraka” mengartikan zuhud dengan meninggalkan urusan duniawi secara keseluruhan. Para calon salik diperbolehkan memilih untuk mengikuti metode imam thariqah siapa yang paling pas bagi dirinya sebagaimana diperbolehkannya dalam memilih mengikuti salah satu dari para pemuka mujtahid fiqih yang masyhur ke’alimannya.

Agar dzikir seorang salik dapat menghasilkan faedah seperti yang diharapkan, maka taushiah – taushiah dari para imam thariqah masing – masing juga amat penting untuk diperhatikan dan dimengerti. Demikian pula petunjuk dari para Mursyid (guru pembimbing) Thariqah. Karena para mursyid yang sah serta shahih adalah penerus dari para imam thariqah. Dan ini juga untuk menghindari deviasi system yang telah dibangun secara benar oleh para imam thariqah. Karena jika tidak maka bukan hal yang mustahil akan ada metode – metode “nyleneh” yang menyimpang dari islam.

Penulis pernah punya pengalaman ditanya tentang hal – ihwal thariqah oleh seorang dosen UIN Yogyakarta. Beliau adalah alumnus Al-Azhar, Mesir. Secara umum, beliau ini sebelumnya dikenal kurang begitu respect terhadap thariqah. Namun setelah berbincang – bincang dengan penulis maka terjadilah perubahan pandangan beliau terhadap persoalan thariqah. Berikut ini adalah sebagian petikan singkat pembicaraan dengannya.
“Antum menganut thariqah apa?”
Saya jawab, “Thariqah As-Syadziliyyah”
“Apakah pandangan antum tentang thariqah?”
“Dzikrulah. Itulah intinya”
“Dalam Thariqah As-Syadziliyyah dzikir pokok apa yang diamalkan?”
“Ya sesuai dengan surat Muhammad ayat 19 ; Fa’lam Annahu Lailahaillah”
“Kecuali itu adakah selainnya?”
“Tidak ada. Yang ada hanya penyertanya seperti istighfar, tasbih dan shalawat”
“Berapakah ‘adad (bilangan) dzikir yang diwajibkan?”
“Tidak ada”
“Aneh. Belum pernah saya memperoleh jawaban seperti ini dari seorang penganut thariqah”
“Tapi inilah yang saya ketahui dalam thariqah As-Syadziliyyah”
“Saya ingin tahu alasannya”
“Begini, suatu saat ada dua orang meminta dzikir yang diwajibkan kepada Syeikh As_Sayid Abil Hasan As-Syadzili ra. Salah seorang diantaranya berkata, “Berikanlah saya dzikir yang wajib Ya Sayyidi”. Lalu bagaimanakah jawaban beliau? “Apakah aku ini seorang rasul? Hingga harus mewajibkan suatu perkara wajib? Ketahuilah. Yang wajib itu telah masyhur. Dan yang dilarang juga telah ma’lum. Maka laksanakanlah yang wajib dan jauhilah yang dilarang!!”. Begitulah taushiah beliau”
“Subhanallah. Ini adalah thariqatus syar’i. Ini adalah thariqah yang benar. Sungguh terbukalah saya. Ternyata tidak semua thariqah seperti yang ada dalam benak pemikiran saya selama ini”.
“Lalu wirdul ‘am yang diamalkan kedudukannya dalam thariqah ini bagaimana?” Dosen ini bertanya lagi pada penulis.
“Murid atau Salik diminta untuk melazimkan (membiasakan dan merutinkan)-nya minimal tiap sehabis maghrib dan subuh sesuai dengan petunjuk mursyid, tujuannya agar si Salik dapat ber-takhalli, tahalli dan tajalli secara step by step sesuai dengan maratib (tingkatan – tingkatan)-nya masing – masing”

Bersambung ke bag. III
Read More »

Belajar Tashawuf dengan Thoriqoh (Bag.1)

Sering kita dapati jika ada orang yang membaca atau mendengar istilah “tashawuf” maka dalam fikiran atau benak thariqah-1hatinya muncul suatu negative image, walau sebenarnya dia belum faham betul terhadap seluk beluk dunia itu. Tak pelak memang munculnya negative image tersebut karena dipicu oleh pengkonotasian jika orang – orang yang hidup dalam dunia tashawuf itu adalah orang – orang yang tidak dapat menerima suatu modernitas, fikirannya jumud (beku), pakaiannya dekil, miskin, hidup dalam keterbelakangan, senang dengan dunia mistik dsb. Sungguh jika pandangan tentang tashawuf seperti itu adalah pandangan yang perlu diluruskan.
Sebagian orang memang ada yang mendefinisikan tashawuf sebagai suatu aliran mistisme dalam islam. Tapi bagi yang telah mengerti tentang pokok – pokok ajaran islam, maka yang sebenarnya tashawuf itu adalah nama bagi istilah lain dari ilmu yang mempelajari tentang Ihsan.

Konon munculnya penamaan tersebut karena dahulu orang – orang yang berusaha mempraktekan tuntunan ihsan ini banyak yang memakai jubah wol yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan istilah “shuf”. Pemakainya dinamakan “Shufi” dan perbuatannya disebut “Tashawwuf”.

Sebagaimana diketahui bahwa islam mengenal 3 pokok ajaran utama, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ilmu yang mempelajari tentang Iman kemudian dikenal dengan sebutan Tauhid, Ushuluddin atau Aqidah. Sedang ilmu yang mempelajari tentang Islam disebut dengan Fiqh. Dan ilmu yang mempelajari tentang Ihsan disebut dengan Akhlak, Tashawuf atau Thariqah. Jadi jika merujuk pada hal ini, maka pemahaman yang menyatakan bahwa tashawuf itu adalah sebuah aliran “mistisme” dalam islam jelas amat keliru.

Untuk dapat mempraktekkan Ihsan secara benar dikenal ada dua manhaj yang dapat dipilih sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Pertama, berusaha senantiasa melakukan ibadah seolah – olah berada dihadapan Allah Swt. Kedua, berusaha senantiasa melakukan ibadah seolah – olah dilihat oleh Allah Swt. Dan inilah dua manhaj tashawuf yang benar. Jadi apabila ada penerapan tashawuf dengan tidak memakai salah satu diantara dua manhaj ini jelas telah terjadi penyimpangan system. Penyimpangan inilah yang tidak benar bukan tashawuf yang tidak benar. Karena tashawuf (baca ; Ihsan) itu juga mengikuti tuntunan Rasulullah Saw.

Pada prinsipnya tashawuf tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Oleh karenanya selain asas yang dipakai, dua manhaj diatas dapat dijadikan sebagai sebuah parameter untuk menilai apakah faham tashawuf yang dijalankan oleh seorang muslim itu benar atau tidak. Jika bertentangan dengan syari’at pasti salah. Dan jika memakai salah satu diantara dua manhaj diatas, insyaallah sesuai dengan syari’at. Bila sesuai dengan syari’at maka itulah tashawuf yang tidak melenceng dari islam.

Memenej hati adalah bidang utama yang digarap dalam tashawuf. Oleh karenanya menurut para ulama ahli tashawuf, dzikir adalah amaliah yang mesti dijalani oleh para pelaku – pelakunya (salik). Karena dengan berdzikir maka seorang salik akan dapat ber-takhalli, tahalli dan tajalli.

Takhalli adalah upaya mengosongkan atau meminimalisir diri seseorang dari perbuatan akhlakul madzmumah (perilaku tercela) seperti dengki, iri, takabur dan beberapa penyakit batin lainnya. Sedangkan Tahalli adalah menghias diri dengan akhlakul mahmudah (perbuatan terpuji). Dan Tajalli yaitu mendekatkan diri pada Allah Swt.

Cara seseorang mengolah dzikir inilah yang dikenal dengan istilah Thariqah. Ada ungkapan tentang hal ini yang terkenal dari Al-Imam Al-Qusyairi yaitu “Al-Ashlu fit Thariq Adz-Dzikru”. Artinya ; substansi pokok dalam thariqah adalah dzikrullah. Oleh karenanya jika anda mendengar istilah Thariqah As-Syzadziliyyah maka seharusnya yang muncul pada pemahaman ialah berarti suatu tunutunan metode berdzikir menurut Al-Imam Abil Hasan As-Syadzili. Thariqah Qadiriyyah berarti cara berdzikir menurut tuntunan Al-Imam Abdul Qadir Al-Jilani. Demikian dan seterusnya. Penamaan metode dzikir itu biasanya dinisbatkan kepada seorang tokoh waliyullah yang terkenal dan telah mengajarkannya kepada murid – murid beliau.

Bagi pandangan ulama ahli tashawuf, upaya seseorang dalam mengosongkan atau meminimalisir dirinya dari perbuatan akhlakul madzmumah itu akan sulit berhasil jika dia tidak melazimkan dirinya dengan dzikrullah. Karena manusia secara kodrati telah diberi oleh Allah Swt dua buah tabiat. Yaitu tabiat Malakutiyyah (tabiat yang mendorong kearah ketaatan kepada perintah ilahi) dan tabiat Hayawaniyyah (tabiat yang mengarah kepada penentangan terhadap tuntunan ilahi). Oleh karenanya agar yang mengisi pada pribadinya adalah tabiat malakutiyyah maka itu adalah sesuatu yang bukan mudah. Dibutuhkan sekali hidayah dari Allah Swt. Dan upaya terbaik mengharapkan naungan hidayah dari Allah Swt adalah dengan jalan dzikrullah lalu istiqomah.

Disebutkan dalam Al-Qur’an ;


Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat rahmat akan turun kepada mereka dengan mengatakan “Janganlah kamu takut dan bersedih. Dan bergembiralah kamu sekalian dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu“. (AQ. Surat (41) Fushilat, A. 30).

Tashawuf tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Oleh karenanya bagi ulama tashawuf muttashil (bersambung)-nya sanad dzikir dari pelaku sampai kepada shahibus syar’i yaitu Rasulullah Saw menjadi dianggap penting dan vital. Karena jika sanad dzikirnya tidak tasalsul (bersambung mata rantainya) sampai kepada Rasulullah Saw maka thariqah yang dijalaninya menjadi batal secara riwayah (batal demi hukum). Dan jika batal maka 3 buah faedah dzikir seperti yang telah disebut diatas tidak akan diperoleh oleh si dzakir (pelaku dzikir). Oleh karenanya jangan heran jika kita melihat ada beberapa orang yang mengaku menjalani thariqah akan tetapi kelakuannya masih buruk akhlak. Hal itu terjadi bukan tidak mungkin karena sanad mereka munqathi’ (terputus) serta tidak shahih, namun mereka mengaku sanadnya muttashil. Untuk itu berhati – hatilah memilih seorang mursyid (guru pembimbing). Lihat dulu backgroundnya, nasabnya, haliahnya dsb. Insyaallah dengan kehati – hatian dalam memilih maka kita akan dapat terminimalisir dari ketergelinciran.

Bersambung pada bagian II
Sumber : http://al-kahfi.net
Read More »

Mengagungkan Ulama Apakah Syirik ?

Alam semesta dan segala isinya tiada henti bertasbih siang dan malam kehadirat Nya yang Maha Tunggal dalam keluhuran, Tunggal dalam keabadian, Tunggal dalam kesucian, Tunggal dalam Kesempurnaan, Tunggal dalam Kekuasaan di Hamparan Angkasa Raya dan Penguasa Kekal pada seluruh Alam, Dicipta Nya Jagad Raya dari ketiadaan, dijadikan Nya keturunan Adam as termuliakan sebagai Khalifah dimuka bumi, mereka termuliakan dengan ilmu, Adam as melebihi malaikat karena ia diberi Ilmu oleh Allah swt yang tak diketahui oleh para malaikat, maka diperintahkanlah para malaikat bersujud kepada Adam as karena ia lebih berilmu dari para malaikat, walaupun malaikat tercipta dari cahaya dan Adam as hanyalah dari tanah Lumpur, sebagaimana dijelaskan dalam QS Albaqarah 30:34.

Fahamlah kita bahwa ilmu lah yang membuat para malaikat yang tercipta dari cahaya harus tunduk bersujud dan mengagungkan Adam as yang tercipta dari tanah Lumpur, sebatas sini kita sudah jelas bahwa pengagungan untuk para ulama adalah merupakan perintah Allah swt. Allah swt berfirman : ?BILA KALIAN BERSYUKUR MAKA NISCAYA KUTAMBAHKAN NIKMAT ATAS KALIAN, DAN BILA KALIAN INGKARI NIKMATKU MAKA SUNGGUH SIKSA KU SANGAT PEDIH? (QS Ibrahim 7), fahamlah kita bahwa bersyukur merupakan kewajiban bagi kita, dan tidak bersyukur adalah berhadapan dengan siksa Nya yang pedih.

Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh kenikmatan yang datang kepada kita mestilah melalui perantara, misalnya harta, makanan, minuman dll, mestilah lewat Makhluk Nya, tidak langsung dari Nya tanpa perantara, kita menemukan sebuah hadits mulia, dimana Rasul saw bersabda : ?Belumlah seseorang (dianggap) bersyukur kepada Allah bila ia tak bersyukur kepada orang (yang berjasa padanya)? (Shahih Ibn Hibban hadits no.3407, Sunan Imam Tirmidzi hadits no.1954 dengan sanad hasan shahih, sunan Imam Abu Dawud hadits no.4811). Jelaslah dari hadits ini bila seseorang misalnya mendapat hadiah, rizki, uang, atau lainnya, lalu ia bersyukur kepada Allah, ternyata belumlah sempurna syukurnya itu sebelum ia berterimakasih kepada sang perantara kenikmatan Allah swt.

Kita dituntut untuk bersyukur atas segala kenikmatan, dengan cara bersyukur kepada Allah swt dan berterimakasih kepada perantara kenikmatan Nya itu, sebagaimana kita memahami bahwa sebesar apapun ibadah kita tetap belumlah kita dimuliakan Allah swt sebelum kita berbakti kepada kedua orang tua, karena ayah dan ibu kita adalah perantara atas kehidupan kita. Namun adapulan kenikmatan yang bukan hanya sekedar makan, minum, harta, dll, ada kenikmatan yang jauh lebih luhur, yaitu kenikmatan ibadah, kenikmatan dzikir, yang bila sedang melimpah kenikmatan-kenikmatan ini kepada kita maka akan runtuhlah seluruh kenikmatan duniawi kita, runtuh seluruh kesedihan dan kesempitan kita, semuanya sirna dan tak terasa saat kita tenggelam dalam satu dua kejap bersama cahaya khusyu didalam sujud, atau bibir yang bergetar menyebut Nama Nya dengan ledzat, atau airmata yang mengalir dalam kerinduan pada perjumpaan dengan Yang Maha Indah..

Wahai saudaraku, kenikmatan yang sangat agung ini berkesinambungan dengan kenikmatan yang abadi kelak, dan wajib pula disyukuri, yang bila kita mensyukurinya maka Allah akan menambahnya, dan bila kita tak menyukurinya maka kita dihadapkan pada siksa Nya yang pedih. Ingatlah hadits diatas, bahwa setiap kenikmatan itu ada perantaranya, demikian pula kenikmatan-kenikmatan batin diatas, perantaranya adalah para ulama yang mengajarkan kita shalat, puasa, zakat, dzikir, kemuliaan Allah, keagungan Allah dll yang dengan itulah kita akan sampai kepada sorga. Adakah jasa yang lebih besar pada kita selain jasa guru-guru kita yang membimbing kita kepada Keridhoan Nya?, maka wajiblah kita mengagungkan para ulama dan guru-guru kita, itulah bukti akan bakti kita pada mereka, dan itu merupakan tanda sempurnanya syukur kita kepada Allah..

Sebagaimana Ibn Abbas ra yang memuliakan gurunya, yaitu Zeyd bin Tsabit ra, ia berjalan kaki seraya menuntun kuda Zeyd bin tsabit ra, maka Zeyd ra melarangnya dan Ibn Abbas ra berkata : ?Beginilah kita diperintah untuk memuliakan ulama-ulama kita?, maka turunlah Zeyd bin tsabit ra seraya mengambil tangan kanan Ibn Abbas ra dan menciumnya seraya berkata : "beginilah kita diperintah memuliakan Ahlulbait yang melihatnya? (Faidhul Qadir juz 3 hal.253), bahkan telah berkata sayyidina Ali kw : ?aku adalah budak bagi yang mengajariku satu huruf?, sebagaimana hadits Rasul saw : ?barangsiapa yang mengajari seorang hamba sebuah ayat dari kitabullah maka ia adalah Tuan baginya, maka sepantasnya ia tak menghinakannya dan meremehkannya? (Majmu? zawaid Juz 1 hal 128, Fathul Bari Almasyhur juz 8 hal 248), demikian Rasul saw memerintahkan penghargaan kepada guru-guru kita, demikian pula para sahabat memuliakan guru-guru mereka, maka berbakti kepada guru merupakan tanda syukur kita atas kenikmatan akhirat, kenikmatan shalat, puasa, zakat dll yang dinantikan oleh kebahagiaan nan Abadi.

Sampailah kita kepada puncak pemahaman bahwa berbakti kepada Sayyidina Muhammad saw, sebagai Guru dari semua guru yang membimbing kepada keluhuran, merupakan tanda sempurnanya syukur kita kepada Allah swt, dan Bakti kepada sang Nabi saw, memuliakannya, mengagungkannya, mencintainya, merupakan tanda syukur dan terimakasih kita kepada jasa-jasa beliau saw, yang dengan itulah sempurnanya syukur kita kepada Allah swt, wahai saudaraku, ketahuilah bahwa Sang Nabi saw adalah yang menjaga dan menaungi kita dari musibah api neraka kelak, demikian Allah menjelaskan kepada kita tentang Nabi Nya saw ini, Allah swt berfirman : ?TELAH DATANG PADA KALIAN SEORANG RASUL DARI KELOMPOK KALIAN, SANGAT BERAT BAGINYA APA-APA YANG MENIMPA KALIAN, SANGAT MENJAGA KALIAN, DAN KEPADA ORANG-ORANG MUKMIN SANGAT BERLEMAH LEMBUT? (QS Attaubah 128). Alangkah agungnya manusia yang satu ini, bagaimana Allah swt membanggakan hamba Nya Muhammad saw sebagai hamba yang menjadi pelindung bagi hamba-hamba Nya yang lain. Kini kita temukan puncak dari kesempurnaan syukur kita atas kenikmatan Islam dan Iman, bukan hanya cukup bersyukur kepada Allah swt semata, namun berbakti kepada Nabi kita Muhammad saw lah penyempurna syukur kita, sebagaimana kesaksian tauhid kita pun tak sempurna sebelum kesaksian Muhammad saw sebagai Rasul Allah swt.

Maka timbul pertanyaan dihati kita, bagaimana dengan kelompok yang mengenyampingkan atau bahkan mengatakan musyrik bila kita memuliakan Nabi Muhammad saw??, bukankah ini ajaran Iblis yang memang tak mau sujud pada Adam as yang diberi kelebihan ilmu oleh Allah swt??, sedangkan Nabi saw bukanlah saja makhluk yang paling berilmu dari seluruh makhluk Nya Allah swt, namun beliau saw adalah guru besar kita yang membimbing kita kepada Iman dan islam, barangkali kelompok ini sebentar lagi akan mengatakan bahwa syahadat itu musyrik pula bila menyebut nama Muhammad saw. Mereka ini durhaka terhadap sang Nabi saw, bagaimana pendapat anda bila ada seorang anak yang menolak menghormati ibunya?, mengharamkan penghormatan pada ibu dan ayahnya karena dianggap syirik?, bukankah ini anak yang durhaka?, naudzubillah dari durhaka yang 1000X lebih besar dari durhaka pada ayah dan ibu, yaitu durhaka pada Rasulullah saw, para sahabat radhiyallahu?anhum berebutan air bekas wudhu beliau saw (shahih Bukhari) para sahabat menjadikan air bekas perasan dari baju beliau saw sebagai obat (shahih Bukhari), para sahabat memuliakan sehelai rambut beliau saw setelah beliau wafat (shahih bukhari), para sahabat berebutan rambut beliau saw saat beliau saw dicukur rambutnya saw (shahih bukhari), apakah ini semua musyrik dan kultus?, sungguh.. manakah yang lebih kita ikuti dan panut selain para sahabat radhiyallahu?anhum?, siapakah yang lebih memahami tauhid selain mereka?, adakah makhluk-makhluk sempalan di akhir zaman ini merasa mereka lebih tahu kesucian tauhid daripada sahabat radhiyallahu ?anhum?

Semoga Allah segera mengulurkan hidayah Nya untuk saudara-saudara kita muslimin yang masih buta dari kemuliaan syukur ini. amiiin...

http://majelisrasulullah.org
Read More »